Welcome di Mentari Sago, kumpulan artikel pendidikan dan sastra baik berupa cerpen, puisi dan lain-lain

Tuesday, 14 July 2020

Menelisik Potensi yang Tenggelam


 Menelisik Potensi yang Tenggelam
oleh Riki Utomi



gambar Mulyati Umar

Pembacaan kita pada sebuah karya fiksi dapat larut bila ada sesuatu yang “kena” dalam hati. Sesuatu itu merupakan hal-hal menarik yang semakin ditelusuri terasa semakin asyik diikuti, maka terasa nikmat kita membacanya. Hal itu tidak lepas dari usaha pengarang dalam menyajikan ceritanya dengan sungguh-sungguh. Sungguh-sungguh berarti ada usaha keras dalam proses penciptaan karya fiksi. Dapat kita telisik dari bagaimana mengolah tema cerita, mengembangkan jalan cerita, menyusun dialog-dialog tokoh, penggunaan kata yang tepat, merangkai kalimat yang pas dan selaras, dan lain-lainnya. Itu semua tentu memerlukan kerja keras dari pengarang.
Sejauh manakah pengarang mampu membawa ceritanya dengan menarik? Jawaban ini setidaknya dapat dilandaskan pada sejauh usaha keras pengarang dalam aktivitasnya mengarang. Artinya, aktivitas tersebut merupakan proses yang terus berulang sambil terus memperbaiki karya.
Faktor lain yang turut menunjang yaitu proses pembacaannya terhadap banyak karya sastra itu sendiri yang dapat menjadi contoh pembelajarannya dalam bercerita (baca: mengarang). Selain itu, pengalamannya sendiri dapat pula menjadi jalan inspiratif pada cerita-ceritanya.
Proses latihan yang intens sarat dilakukan oleh seorang pengarang. Pengarang dapat diilustrasikan sebagai pendekar, yang mana setiap hari harus mempelajari kuda-kuda dalam gerak-gerak dasar, sampai kepada jurus-jurus pamungkas, hingga piawai dalam memainkan segala jurus dan senjata. Maka, seorang pendekar niscaya tidak bisa menguasai keahilan beladirinya tanpa ditunjang dengan latihan itu sendiri yang terus-menerus. Begitulah juga seorang pengarang, yang mana dalam tiap tulisannya (ceritanya) sejatinya harus memiliki perubahan dan perkembangan. Dari tulisan biasa menjadi tulisan yang luar biasa karena pengaruh dari proses latihan yang tiada henti. Latihan yang intens dalam mengarang akan membawa perubahan tentang bagaimana menghasilkan tulisan (cerita) yang memikat, menarik, terukur, bermakna, padu, dan bermanfaat, hingga memiliki kesan kuat oleh pembaca.
Kesan-kesan yang didapatkan oleh pembaca setidaknya beragam karena faktor bagaimana mengapresiasinya. Pembaca akan senang dari cerita tersebut karena adanya kesan kuat dari cerita itu, hingga ia mendapatkan “sesuatu” setelah membaca, dan ia (pembaca) akan merasa menjadi orang berguna karena telah membaca hasil karangan itu. Maka disitulah letak sebuah tulisan yang berhasil oleh pengarang menjadi penting dan berpengaruh. Disitulah pula seseorang dapat dikatakan memiliki kualitas sebagai pengarang dan selain itu berpengaruh bagi orang banyak.
Dapat kita sebutkan pengarang karya fiksi yang malang-melintang di jagat kepenulisan tanah air seperti Habiburrahman el Shirazy melewati karya fiksi teranyarnya Ayat-Ayat Cinta mampu memberikan kesan kuat di hati pembaca. Cerita-ceritanya begitu menggugah dalam memberikan nilai-nilai Islami dalam tiap aktivitas para tokohnya. Begitu pula Andrea Hirata melewati tetralogi Laskar Pelangi yang mampu membangun motivasi besar dalam menggapai cita-cita untuk berhasil dalam mengarungi pendidikan dan tidak menyerah pada keterpurukan ekonomi. Lalu Arafat Nur melewati karya-karyanya yang sarat berlatar konflik di Aceh seperti Lampuki dan Tanah Surga Merah, mencerminkan kesan kemanusiaan yang tinggi bagaimana kita seharusnya menyikapi sebuah kemerdekaan yang berdarah-darah itu untuk kita jaga seutuhnya dan memilikinya dengan penuh rasa syukur. Juga para pengarang lain yang membawa visi-misi masing-masing dalam karya-karyanya akan terasa ada sesuatu yang berharga untuk kita dapatkan. Hal berharga itu menjadi larut ketika kita mengikuti sajian demi sajian dalam cerita yang mereka suguhkan.
gambar Mulyati Umar

Termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan. Tema-tema budaya memang memiliki kesan tersendiri dalam sebuah karangan fiksi. Setiap pengarang memiliki kesan dalam tiap budayanya. Satu sisi karena memang budaya memiliki karakter yang dapat dikembangkan dalam karya fiksi. Karakter tersebutlah yang mampu menjadi nilai lebih untuk ditampilkan; dibicarakan, ditelusuri, disikapi. Apalagi terkait sesuatu aktivitas budaya yang telah mulai hilang di gerus zaman, akan menjadi lebih bernilai ketika dibawa dalam sebuah karya fiksi.
Bukan hanya karya fiksi dewasa, namun dalam karya fiksi cerita anak, karangan yang berselimutkan budaya menjadi hal yang menggairahkan. Ada tarik-menarik yang apik ketika perihal kebudayaan disuguhi dengan karakter cerita anak. Dalam hal cerita anak, dinilai penting karena dapat lebih mengarah atau terfokuskan kepada anak-anak untuk turut memahami tentang nilai-nilai kebudayaan. Riris K Toha Sarumpaet mengatakan, sastra anak adalah karya yang khas dunia anak, dibaca anak, serta—pada dasarnya—dibimbing orang dewasa. Sastra anak dikemas dengan format yang manarik, menggunakan elemen sastra yang lazim seperti sudut pandang, latar, watak, alur dan konflik, tema, gaya dan nada, serta adanya kejujuran, penulisan yang sangat bersifat langsung, serta informasi yang memperluas wawasan.[1] Karya sastra anak dengan demikian mampu membawa kesan mendalam yang semakin manambah “haus”nya mereka untuk membaca.
Kemudian, Wahidin berpendapat, bahwa sastra anak adalah karya sastra yang secara khusus dapat dipahami oleh anak-anak yang berisi tentang dunia yang akrab dengan anak-anak. Sifat sastra anak adalah imajinasi semata, bukan berdasarkan pada fakta. Unsur imajinasi ini sangat menonjol dalam sastra anak. Hakikat sastra anak harus sesuai dengan dunia dan alam kehidupan anak-anak yang khas milik mereka dan bukan milik orang dewasa. Sastra anak bertumpu dan bermula pada penyajian nilai dan himbauan tertentu yang dianggap sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan.[2]
Mendorong anak untuk gemar membaca memang sudah dirasa begitu penting dan harus. Dorongan itu tidak lain ditunjang tersedianya buku-buku bacaan yang memadai. Buku yang—dalam hal ini—berisi karangan-karangan yang bernilai tinggi. Keunggulannya, sudah tentu anak akan memiliki kesadaran akan suatu hal, hingga kelak dirasa mampu berpikir cerdas, bertindak tepat, berlaku adil, bersikap bijak, dan berbahasa santun. Juga memiliki rasa bangga pada budaya hingga mampu cinta pada tanah air.
Maka setidaknya, beruntunglah bagi mereka yang juga mengarang cerita anak. Mereka, para penulis itu, telah memberikan sumbangsih besar bagi bahan-bahan bacaan yang khusus untuk “dilahap” anak-anak. Mengingat bahwa anak-anak lazimnya belum memiliki daya keterbacaan seperti orang dewasa, tentu karangan cerita anak diharapkan menjembatani penanaman aktivitas membaca sebagai kemampuan dasar yang harus dimiliki. Adanya bahan bacaan cerita anak yang berkualitas akan menunjang kegemaran anak-anak untuk membaca dan menulis dalam geliat literasi.
Setiap pengarang yang menuliskan cerita anak tentu akan mengambil beragam tema dalam pengembangan ceritanya. Berbicara tema, berbicara tentang “selera” selain juga karena sebuah “tuntutan” seperti dalam sebuah perlombaan. Dalam hal ini, tidak sedikit pengarang yang memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya tentang budaya untuk disertakan dalam karangan cerita anak.
Membaca cerita anak yang dikarang oleh salah seorang aktivis literasi Mulyati Umar salah satunya, mampu memberikan pandangan-pandangan di atas. Melewati cerita anak yang dikarangnya, beliau memasukkan nilai-nilai budaya yaitu tentang permainan gasing sebagai permainan rakyat Melayu (Riau). Cerita ini secara garis besar ingin mengajak kita untuk menyikapi perihal permainan gasing yang kini mulai redup dimainkan oleh masyarakat Melayu, baik anak-anak maupun orang dewasa.
Cerita yang mengalir lurus ini cukup memiliki kesan kuat akan sebuah usaha perjuangan anak untuk ikut lomba dalam sebuah helat yang diadakan di kampungnya dalam rangka perayaan ulang tahun kemerdekaan. Melewati dua tokoh utamanya, Budi dan Ramli, cerita mengetengahkan semangat anak untuk ikut serta dalam perlombaan itu. Setidaknya ini dapat diambil hikmah bahwa anak-anak sebenarnya masih tertarik akan permainan rakyat yang sederhana itu. Ditambah perjuangan kedua tokoh untuk dapat memiliki gasing itu sendiri yang akhirnya mereka sama-sama belajar dari ayahnya Budi dalam membuat gasing. Ini juga sebagai bentuk nilai semangat dalam keingintahuan pada proses dalam memproduksi benda itu.
Namun dari sisi bentuk tuturan cerita tersebut masih dirasa agak kurang menggigit untuk dinikmati. Penyajian cerita yang kurang menarik akan menjurus kepada keengganan pembaca untuk terus menelusuri cerita, meskipun tema cerita yang diangkat telah mendukung dan bagus. Adanya ketidakpadatan dalam penuturan atau pula pengembangan cerita tersebut menjadikan cerita kurang “menggigit” untuk dinikmati lebih jauh. Secara tekstual, karya fiksi juga memiliki struktur[3] yang menunjang dalam rangka membangun kesan kuat dari pengisahannya. Segala rancang-bangun itu menjadi kokoh untuk mengantarkan karya fiksi ke dalam bentuk yang memikat; lancar mengalir ceritanya yang diolah dari rangkaian kalimat, juga segala perihal suasana berikut kesan yang dibangun oleh pengarangnya.
Cerita anak ini berjudul “Pertandingan Gasing (Cerita Permainan Tradisional Anak Riau)”. Hal judul sebuah karya fiksi pada dasarnya memiliki perbedaan dengan karya ilmiah. Sebuah cerita fiksi (karya sastra; juga sastra anak) lebih lazim menggunakan kalimat atau kata yang tidak kaku, sebagaimana penjudulan karya fiksi. Artinya tidak mengarah kepada kesan ilmiah yang cenderung kaku. Judul yang disuguhkan Mulyati Umar masih terasa kurang mengarah untuk menjadi penjudulan karya fiksi, yang sebaliknya lebih terasa kepada penjudulan karya ilmiah seperti judul artikel atau makalah. Apalagi ditambah keterangan pendukung di bawah judul utama. Alangkah baiknya kalau judul tersebut mengarah saja kepada bentuk kalimat aktif yang sederhana namun berkesan ke fiksi. Hal ini dapat kita contohkan dari judul-judul cerita anak berikut: “Ayub Abon”, “Ketika Bunda adalah Guru Kelasku”, “Laba-Laba Ibal”, “Rumah di Pinggir Rel”[4] sekadar menyebutkan. Maka judul cerita Mulyati Umar dapat diperbaiki ke arah tersebut menjadi seperti, antara lain: “Gasing Bertuah Ramli”, “Gasing-Gasing di Kepala Ramli”, “Debar Gasing” atau “Si Jago Gasing” akan lebih sreg sebagai penjudulan sebuah karya fiksi.
Selain itu, cerita tersebut diawali dengan kalimat pembuka yang kurang “menggigit”. Kalimat awal dirasa berpola kalimat keterangan yang datar. Cerita fiksi menuntut sebuah “hentakan” pertama yang membuat pembaca tersentak. Ada hal yang menjadi sebuah kesan membangun untuk terus mengajak pembaca menguntitnya. Hentakan awal itu, terdapat di kalimat pembuka yang menjadi awal cerita. Ini berpengaruh kepada daya cipta pengarang bagaimana mengolah sebuah paragraf awal dengan kalimat-kalimat menarik. AS Laksana menyebutkan dalam sebuah ulasan di bukunya, “Tunjukkan, jangan ceritakan.”[5] Artinya, membangun kesan dalam cerita tersebut dengan pola-tingkah tokoh-tokohnya akan lebih menarik ketimbang menceritakan tokoh.
Hal itu dapat kita telisik, semisal kita ingin menceritakan sesuatu dari tokoh yang sedang dilanda sedih. Dalam hal ini kita tidak perlu menyebutkan kata /sedih/ tapi tunjukkan bagaimana tingkah-laku tokoh yang sedang bersedih. Hal ini dapat  dicontohkan, “Akhir-akhir ini aku tidak lagi melihat Desi semangat ketika belajar. Padahal setiap mata pelajaran selalu diikutinya dengan antusias. Kini, ia pun sering duduk di posisi sudut, diam seribu bahasa. Padahal kami tahu ia paling aktif. Tak jarang kami lihat matanya yang redup dan tubuhnya melemah seperti dahan rapuh. Sekali waktu pernah kami melihat matanya memerah dan berair, ketika kami mencoba bertanya kenapa, ia hanya menggeleng sambil berkata lirih, ‘tidak, hanya kelilipan saja.’ Padahal kami tahu hatinya remuk.” Hal itu menunjukkan tentang apa yang dialami tokoh dari hal “sedih” tanpa ada kata-kata “sedih” yang menyertainya, bentuk ini akan lebih terasa berkesan dalam penyampaian cerita.
Cerita Mulyati Umar dimulai dengan kalimat pembukaan berikut:
Cuaca sangat cerah. Matahari bersinar dengan teriknya. Suhu udara juga terasa panas. Ramli dan Budi bergegas pulang dari sekolah agar segera sampai di rumah. Ramli dan Budi sekarang duduk di kelas 5 SD Harapan Baru. Sebuah sekolah dasar di kampungnya. Setiap hari mareka pulang dengan berjalan kaki. Jarak sekolah dengan rumah cukup jauh, di tempuh Ramli dan Budi selama 30 menit. Mereka pulang sekolah sambil bersenda gurau sehingga panas udara siang ini tidak begitu mereka hiraukan.
Pembukaan awal ini setidaknya dapat diungkap lebih mengarah ke dalam bentuk metafor hingga terkesan sebuah karya fiksi.
Budi dan Ramli memayungi kepala dengan tas. Matahari sungguh terasa membakar kulit. Namun mereka cukup kuat berjalan walau perut telah keroncongan. Sesekali dalam obrolan itu, diselingi derai tawa hingga mereka tidak terlalu merasakan panas yang menyengat itu.
 Selain itu, penggunaan kata-kata perlu ditinjau lebih jauh. Peninjuan kata dalam penggunaannya di kalimat sangat berpengaruh untuk menjadikan kalimat yang efektif; padu, runtut, jelas, dan tidak mengarah kepada bentuk berulang; atau boleh jadi akan terperosok kepada ambigu. Termasuk pula dalam hal ini penggunaan kata hubung dan juga kata keterangan tempat, waktu, suasana. Kalimat awal kedua bertuliskan, /matahari bersinar dengan teriknya/ dirasa mubazir. Hal ini dapat diubah menjadi kalimat utuh sebagai kalimat yang menerangkan dengan bentuk /matahari sangat terik/ atau /matahari bersinar terik/. Dalam sebuah kalimat kadang-kadang tidak semuanya cocok dan pas kita menggunakan kata hubung “dengan”. Adakalanya tanpa kata itu, kalimat kita sudah menjadi bentuk kalimat utuh.
Kalimat ketiga bertuliskan /suhu udara juga terasa panas/ memiliki kesan kalimat biasa. Pengungkapan kalimat juga dirasa masih belum tertata. Sebaiknya ditelisik lebih jauh antara kata “suhu” dan “udara” yang mana kedua kata itu harus dibuang salah satunya. Kata /udara/ sudah mencerminkan “rasa” akan /suhu/, karena diiringi oleh kata /panas/ yang menyertainya. Kalimat ini bisa diperbaiki menjadi, seperti: /udara terasa panas/ atau yang lebih ke arah metafor /penas begitu menggila/ lebih terasa sebagai bentuk perumpamaan dalam penggambaran suasana yang “sangat panas” itu.
Maka, cerita fiksi lebih dirasa menyentuh dengan pengolahan metafor, karena akan memberi suguhan keindahan akan kalimat. Selain dari bagaimana—seperti yang dikatakan oleh AS Laksana—kita menyuguhkan cerita oleh pengolahan kalimat untuk tidak mengatakan langsung tentang perkara, tetapi dengan menunjukkan kesan-kesan tokoh lewat tingkah lakunya, gerak-geriknya, usahanya, yang hal tersebut menunjukkan aktivitas dari tokoh. Ini akan lebih berkesan dalam karangan fiksi.
Cerita Mulyati Umar pada dasarnya mengambil tema yang bagus, yaitu tentang budaya, dengan menceritakan dua orang anak yang ingin ambil bagian dalam sebuah perlombaan gasing. Bermain gasing adalah aktivitas yang dilakukan masyarakat Melayu. Aktivitas yang patut ditunjukkan lagi oleh generasi kini. Sosok Budi dan Ramli dapat menyimbolkan semangat itu dalam menghidupkan permainan rakyat. Namun dalam cerita, unsur detail belum tampak. Apakah perlombaan gasing itu hanya untuk anak-anak? Atau orang dewasa? Tidak ada keterangan jelas hal tersebut. Cerita lebih menjurus usaha bagaimana kedua anak itu mendapatkan gasing dan mereka bekerja keras membuatnya dengan dibantu oleh ayah si Budi. Memang akhirnya berhasil. Namun dari sisi mereka menjalani pertandingan, tidak tampak banyak uraian bagaimana mereka berjuang dalam bertanding. Tokoh Budi memang memenangi pertandingan, namun Ramli gagal dalam bertanding hingga mengalami kesedihan.
Budi mulai menggunakan pahat untuk membuat sesuatu, Ramli mengamati dengan seksama. Ayah Budi datang mengajar Budi. Budi mulai memahat kayu balok dengan pahat di tangan kiri dan palu kecil di tangan kanan. Ramli ikut mengamatinya. Setelah beberapa waktu berlalu. Ramli penasaran. Ramli ingin ikut apa yang dilakukan Budi. Budi sangat terampil mengunakan pahat.
“Budi, aku juga mau memahat seperti kamu.” ujar Ramli dengan penasaran.
“Ayo Ramli, mari belajar sama abah!” sahut ayah Budi.
“Kamu ambil balok yang ada di sudut itu!” ucap Budi sambil menunjuk ke arah sudut gudang. Ramli segera beranjak untuk mengambil balok kayu yang ditunjuk Budi.
“Kayu ini cukup bagus, saya ambil ini saja.”guman Ramli sendiri.
“Abah, apa yang akan kita buat?” ujar Ramli kepada ayah Budi.
Ayah Budi mengambil kayu tersebut dan memberinya pola.
“Kamu tadi sudah memperhatikan apa yang dilakukan Budi dan sekarang kamu ikuti!” sahut Ayah Budi kepada Ramli.
Setelah itu Ramli mulai mengambil peralatan seperti yang digunakan Budi. Di tangan Ramli sudah ada kayu balok, pahat dan palu. Ramli terlihat mulai memahat kayu balok dengan mengunakan pahat dan palu. Ayah Budi mengajari Ramli cara memahat bersama Budi. Budi dan Ramli terlihat asyik di gudang kayu milik ayah Budi.
Teks di atas menunjukkan semangat, rasa ingin tahu, dorongan untuk mencoba membuat gasing menjadi sesuatu yang patut dihargai, apalagi bagi anak kecil yang dalam hal ini—secara tidak langsung—menghargai budaya. Bukan tidak mungkin anak-anak zaman kekinian ini tidak tahu, atau memang tidak mau tahu untuk bermain gasing bahkan tidak berminat sama sekali dalam permainan itu, karena mereka lebih asyik dengan benda-benda elektronik yang canggih di genggaman. Namun, melewati cerita ini, Mulyati Umar, setidaknya—secara tak langsung—menyuguhkan kesan untuk menghargai budaya melewati permainan rakyat. Setidaknya pula, sebagai orang dewasa tentu kita kagum melihat anak-anak kecil yang semangat membuat benda-benda kerajinan tangan (dalam hal ini gasing) yang kini telah jarang dan hampir tidak tersentuh oleh tangan-tangan kaum melenial.
Namun, perjuangan bertanding kedua tokoh itu (Budi dan Ramli) sayangnya tidak diceritakan jauh dalam cerita ini. Setidaknya gambaran perjuangan mereka mendapat porsi penceritaan yang lebih banyak, hingga mampu memberi pandangan akan judul besarnya yaitu tentang “pertandingan gasing”. Bagaimana usaha keras, juga rasa was-was (mungkin) dari kedua tokoh anak itu dalam bertanding untuk memberikan hasil terbaik sebuah kemenangan. Setidaknya hal ini akan lebih menjadi cerita heroik dan seru, ketimbang menceritakan dalam porsi besar bagaimana mereka membuat gasing tersebut.
Bukankah Ramli mengalami kekalahan? Kekalahan yang sebenarnya patut diceritakan lebih runtut untuk mendapatkan komplikasi[6] (puncak konflik) cerita.  Sebagaimana seorang yang telah habis-habisan berjuang untuk mendapatkan kemenangan dalam sebuah pertandingan—apalagi hal itu jauh hari telah diidamkan dan dipersiapkannya—nyatanya ia hanya mendapatkan kekalahan, ini sebuah hal yang sangat “meremukkan” hati yang sejatinya perlu dikisahkan dengan apik.
Cerita ini juga perlu dipertimbangkan untuk tidak banyak menggunakan kata yang diulang. Seperti dalam menyebutkan orang dengan penyebutan namanya. Kita tidak perlu mengulangi nama orang tersebut, namun cukup saja dengan menggunakan kata ganti orang ketiga seperti /dia/ atau dalam bentuk jamak /mereka/.
Setelah itu Ramli mulai mengambil peralatan seperti yang digunakan Budi. Di tangan Ramli sudah ada kayu balok, pahat dan palu. Ramli terlihat mulai memahat kayu balok dengan mengunakan pahat dan palu. Ayah Budi mengajari Ramli cara memahat bersama Budi. Budi dan Ramli terlihat asyik di gudang kayu milik ayah Budi.
Cuaca sangat cerah. Matahari bersinar dengan teriknya. Suhu udara juga terasa panas. Ramli dan Budi bergegas pulang dari sekolah agar segera sampai di rumah. Ramli dan Budi sekarang duduk di kelas 5 SD Harapan Baru. Sebuah sekolah dasar di kampungnya. Setiap hari mareka pulang dengan berjalan kaki. Jarak sekolah dengan rumah cukup jauh, di tempuh Ramli dan Budi selama 30 menit. Mereka pulang sekolah sambil bersenda gurau sehingga panas udara siang ini tidak begitu mereka hiraukan.

Juga dalam hal bentuk penggunaan kata yang telah berbentuk jamak, akan berpeluang kepada ketidakajegan dalam proses pembacaan cerita oleh pembaca. Kata-kata yang telah berpotensi memiliki makna “banyak” cukup berdiri sendiri karena telah memiliki pondasi makna, ia tidak perlu disanding dengan kata keterangan lain.
Sore hari di balai desa, Ramli ikut dalam pertandingan gasing. Banyak anak-anak di sana. Tapi dalam pertandingan gasing dilakukan berpasangan dengan lawan mainnya. Budi juga ikut dalam pertandingan. Gasing Budi sudah menang. Gasing siapa yang berhenti dahulu atau bertabrakan dengan gasing lawan hingga terpental keluar lapangan berarti kalah.
Penggunaan penyebutan nama yang berulang akan berpeluang pada kejenuhan pada proses pembacaan, begitu pula penggunaan kata-kata yang telah bermakna “banyak”. Maka, dalam hal ini peran linguistik dapat membantu kita dalam proses menyusun dan menyikapi cerita fiksi.
Cerita ini pada dasarnya utuh dan untuk itulah mampu memiliki potensi pengembangan cerita yang menarik, oleh sebab tema yang diangkat Mulyati Umar mencerminkan nilai-nilai budaya yang patut diangkat kembali. Apalagi dalam cerita ini tokoh yang berperan adalah anak kecil yang notabenenya masih belia, telah mampu semangat untuk ikut serta dalam pertandingan yaitu pertandingan gasing sebagai khasanah permainan rakyat. Secara jauh, nilai-nilai ekstrinsik cerita Mulyati Umar ingin mengajak kita menyikapi kembali akan budaya permainan rakyat ini, sambil berkata pada diri kita yang tua-tua ini “sampai dimana kita peduli akan hal itu?” dan hanya hati kita masing-masing yang merasakannya. Sedangkan tokoh Budi dan Ramli mampu menjadi simbol pendobrak sekaligus—katakanlah—“tamparan” kecil buat kita untuk menilai diri sebagai manusia modern ini yaitu jangan hanya berkutat pada benda-benda modern, tetapi harus pula tetap menghargai benda-benda masa lalu yang mana benda itu sejatinya juga memiliki peran dalam kehidupan, apakah sebagai sarana pergaulan, kemudahan dalam pekerjaan, simbol yang bisa menjadi kebanggaan suatu puak, hingga mampu menjadi ciri khas suatu masyarakat. Maka, hal itu sangat patut dipertahankan atau dilestarikan. Demikian. (*)
Selatpanjang, Juli 2020



------------------------------------------------
Riki Utomi. Penulis dan pendidik, juga penikmat karya sastra. Bukunya Mata Empat (cerpen, 2013), Sebuah Wajah di Roti Panggang (cerpen, 2015), Mata Kaca (2017), Menuju ke Arus Sastra (esai, 2017), Belajar Sastra Itu Asyik (nonfiksi, 2019), Amuk Selat (puisi, 2020), Anak-Anak yang Berjalan Miring (cerpen, 2020). Bergiat di FLP Riau. Tinggal di Selatpanjang.



[1] Pedoman Penelitian Sastra Anak (edisi revisi), Pusat Bahasa Jakarta, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2010. Hal: 3.
[2] “Hakikat Sastra Anak” (2009)
[3] Lihat Engkos Kosasih “Jenis-Jenis Teks” (Analisis Fungsi, Struktur, dan Kaidah, Serta Langkah Penulisannya) Yrama Widya, Bandung, 2012.
[4] “Jujur dan Sahabatku” Antologi Cerita Anak Pilihan karya Guru. PT Penerbitan Sarana Bobo, 2010.
[5]  “Creative Writing” (Tips dan Strategi Menulis untuk Cerpen dan Novel) Seri Menulis Jakarta School. MediaKita, 2006.
[6] Lihat kembali Engkos Kosasih

0 comments:

Post a Comment