Menelisik Potensi yang Tenggelam
oleh Riki
Utomi
Pembacaan
kita pada sebuah karya fiksi dapat larut bila ada sesuatu yang “kena” dalam
hati. Sesuatu itu merupakan hal-hal menarik yang semakin ditelusuri terasa
semakin asyik diikuti, maka terasa nikmat kita membacanya. Hal itu tidak lepas
dari usaha pengarang dalam menyajikan ceritanya dengan sungguh-sungguh.
Sungguh-sungguh berarti ada usaha keras dalam proses penciptaan karya fiksi. Dapat
kita telisik dari bagaimana mengolah tema cerita, mengembangkan jalan cerita,
menyusun dialog-dialog tokoh, penggunaan kata yang tepat, merangkai kalimat
yang pas dan selaras, dan lain-lainnya. Itu semua tentu memerlukan kerja keras
dari pengarang.
Sejauh manakah
pengarang mampu membawa ceritanya dengan menarik? Jawaban ini setidaknya dapat
dilandaskan pada sejauh usaha keras pengarang dalam aktivitasnya mengarang.
Artinya, aktivitas tersebut merupakan proses yang terus berulang sambil terus
memperbaiki karya.
Faktor lain yang turut menunjang yaitu proses pembacaannya
terhadap banyak karya sastra itu sendiri yang dapat menjadi contoh
pembelajarannya dalam bercerita (baca: mengarang). Selain itu, pengalamannya
sendiri dapat pula menjadi jalan inspiratif pada cerita-ceritanya.
Proses
latihan yang intens sarat dilakukan oleh seorang pengarang. Pengarang dapat
diilustrasikan sebagai pendekar, yang mana setiap hari harus mempelajari
kuda-kuda dalam gerak-gerak dasar, sampai kepada jurus-jurus pamungkas, hingga
piawai dalam memainkan segala jurus dan senjata. Maka, seorang pendekar niscaya
tidak bisa menguasai keahilan beladirinya tanpa ditunjang dengan latihan itu
sendiri yang terus-menerus. Begitulah juga seorang pengarang, yang mana dalam
tiap tulisannya (ceritanya) sejatinya harus memiliki perubahan dan
perkembangan. Dari tulisan biasa menjadi tulisan yang luar biasa karena
pengaruh dari proses latihan yang tiada henti. Latihan yang intens dalam
mengarang akan membawa perubahan tentang bagaimana menghasilkan tulisan
(cerita) yang memikat, menarik, terukur, bermakna, padu, dan bermanfaat, hingga
memiliki kesan kuat oleh pembaca.
Kesan-kesan
yang didapatkan oleh pembaca setidaknya beragam karena faktor bagaimana
mengapresiasinya. Pembaca akan senang dari cerita tersebut karena adanya kesan
kuat dari cerita itu, hingga ia mendapatkan “sesuatu” setelah membaca, dan ia
(pembaca) akan merasa menjadi orang berguna karena telah membaca hasil karangan
itu. Maka disitulah letak sebuah tulisan yang berhasil oleh pengarang menjadi
penting dan berpengaruh. Disitulah pula seseorang dapat dikatakan memiliki
kualitas sebagai pengarang dan selain itu berpengaruh bagi orang banyak.
Dapat kita
sebutkan pengarang karya fiksi yang malang-melintang di jagat kepenulisan tanah
air seperti Habiburrahman el Shirazy melewati karya fiksi teranyarnya Ayat-Ayat Cinta mampu memberikan kesan
kuat di hati pembaca. Cerita-ceritanya begitu menggugah dalam memberikan
nilai-nilai Islami dalam tiap aktivitas para tokohnya. Begitu pula Andrea
Hirata melewati tetralogi Laskar Pelangi yang
mampu membangun motivasi besar dalam menggapai cita-cita untuk berhasil dalam
mengarungi pendidikan dan tidak menyerah pada keterpurukan ekonomi. Lalu Arafat
Nur melewati karya-karyanya yang sarat berlatar konflik di Aceh seperti Lampuki dan Tanah Surga Merah, mencerminkan kesan kemanusiaan yang tinggi
bagaimana kita seharusnya menyikapi sebuah kemerdekaan yang berdarah-darah itu
untuk kita jaga seutuhnya dan memilikinya dengan penuh rasa syukur. Juga para
pengarang lain yang membawa visi-misi masing-masing dalam karya-karyanya akan
terasa ada sesuatu yang berharga untuk kita dapatkan. Hal berharga itu menjadi
larut ketika kita mengikuti sajian demi sajian dalam cerita yang mereka
suguhkan.
gambar Mulyati Umar |
Termasuk
hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan. Tema-tema budaya memang memiliki
kesan tersendiri dalam sebuah karangan fiksi. Setiap pengarang memiliki kesan
dalam tiap budayanya. Satu sisi karena memang budaya memiliki karakter yang
dapat dikembangkan dalam karya fiksi. Karakter tersebutlah yang mampu menjadi
nilai lebih untuk ditampilkan; dibicarakan, ditelusuri, disikapi. Apalagi
terkait sesuatu aktivitas budaya yang telah mulai hilang di gerus zaman, akan
menjadi lebih bernilai ketika dibawa dalam sebuah karya fiksi.
Bukan hanya
karya fiksi dewasa, namun dalam karya fiksi cerita anak, karangan yang
berselimutkan budaya menjadi hal yang menggairahkan. Ada tarik-menarik yang
apik ketika perihal kebudayaan disuguhi dengan karakter cerita anak. Dalam hal cerita
anak, dinilai penting karena dapat lebih mengarah atau terfokuskan kepada
anak-anak untuk turut memahami tentang nilai-nilai kebudayaan. Riris K Toha
Sarumpaet mengatakan, sastra anak adalah karya yang khas dunia anak, dibaca
anak, serta—pada dasarnya—dibimbing orang dewasa. Sastra anak dikemas dengan
format yang manarik, menggunakan elemen sastra yang lazim seperti sudut
pandang, latar, watak, alur dan konflik, tema, gaya dan nada, serta adanya
kejujuran, penulisan yang sangat bersifat langsung, serta informasi yang
memperluas wawasan.[1]
Karya sastra anak dengan demikian mampu membawa kesan mendalam yang semakin
manambah “haus”nya mereka untuk membaca.
Kemudian,
Wahidin berpendapat, bahwa sastra anak adalah karya sastra yang secara khusus
dapat dipahami oleh anak-anak yang berisi tentang dunia yang akrab dengan
anak-anak. Sifat sastra anak adalah imajinasi semata, bukan berdasarkan pada
fakta. Unsur imajinasi ini sangat menonjol dalam sastra anak. Hakikat sastra
anak harus sesuai dengan dunia dan alam kehidupan anak-anak yang khas milik
mereka dan bukan milik orang dewasa. Sastra anak bertumpu dan bermula pada
penyajian nilai dan himbauan tertentu yang dianggap sebagai pedoman tingkah
laku dalam kehidupan.[2]
Mendorong
anak untuk gemar membaca memang sudah dirasa begitu penting dan harus. Dorongan
itu tidak lain ditunjang tersedianya buku-buku bacaan yang memadai. Buku
yang—dalam hal ini—berisi karangan-karangan yang bernilai tinggi.
Keunggulannya, sudah tentu anak akan memiliki kesadaran akan suatu hal, hingga
kelak dirasa mampu berpikir cerdas, bertindak tepat, berlaku adil, bersikap
bijak, dan berbahasa santun. Juga memiliki rasa bangga pada budaya hingga mampu
cinta pada tanah air.
Maka
setidaknya, beruntunglah bagi mereka yang juga mengarang cerita anak. Mereka,
para penulis itu, telah memberikan sumbangsih besar bagi bahan-bahan bacaan
yang khusus untuk “dilahap” anak-anak. Mengingat bahwa anak-anak lazimnya belum
memiliki daya keterbacaan seperti orang dewasa, tentu karangan cerita anak
diharapkan menjembatani penanaman aktivitas membaca sebagai kemampuan dasar
yang harus dimiliki. Adanya bahan bacaan cerita anak yang berkualitas akan
menunjang kegemaran anak-anak untuk membaca dan menulis dalam geliat literasi.
Setiap
pengarang yang menuliskan cerita anak tentu akan mengambil beragam tema dalam
pengembangan ceritanya. Berbicara tema, berbicara tentang “selera” selain juga
karena sebuah “tuntutan” seperti dalam sebuah perlombaan. Dalam hal ini, tidak
sedikit pengarang yang memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya tentang budaya
untuk disertakan dalam karangan cerita anak.
Membaca
cerita anak yang dikarang oleh salah seorang aktivis literasi Mulyati Umar
salah satunya, mampu memberikan pandangan-pandangan di atas. Melewati cerita
anak yang dikarangnya, beliau memasukkan nilai-nilai budaya yaitu tentang
permainan gasing sebagai permainan rakyat Melayu (Riau). Cerita ini secara
garis besar ingin mengajak kita untuk menyikapi perihal permainan gasing yang
kini mulai redup dimainkan oleh masyarakat Melayu, baik anak-anak maupun orang
dewasa.
Cerita yang
mengalir lurus ini cukup memiliki kesan kuat akan sebuah usaha perjuangan anak
untuk ikut lomba dalam sebuah helat yang diadakan di kampungnya dalam rangka
perayaan ulang tahun kemerdekaan. Melewati dua tokoh utamanya, Budi dan Ramli,
cerita mengetengahkan semangat anak untuk ikut serta dalam perlombaan itu. Setidaknya
ini dapat diambil hikmah bahwa anak-anak sebenarnya masih tertarik akan permainan
rakyat yang sederhana itu. Ditambah perjuangan kedua tokoh untuk dapat memiliki
gasing itu sendiri yang akhirnya mereka sama-sama belajar dari ayahnya Budi
dalam membuat gasing. Ini juga sebagai bentuk nilai semangat dalam
keingintahuan pada proses dalam memproduksi benda itu.
Namun dari
sisi bentuk tuturan cerita tersebut masih dirasa agak kurang menggigit untuk
dinikmati. Penyajian cerita yang kurang menarik akan menjurus kepada keengganan
pembaca untuk terus menelusuri cerita, meskipun tema cerita yang diangkat telah
mendukung dan bagus. Adanya ketidakpadatan dalam penuturan atau pula
pengembangan cerita tersebut menjadikan cerita kurang “menggigit” untuk
dinikmati lebih jauh. Secara tekstual, karya fiksi juga memiliki struktur[3]
yang menunjang dalam rangka membangun kesan kuat dari pengisahannya. Segala
rancang-bangun itu menjadi kokoh untuk mengantarkan karya fiksi ke dalam bentuk
yang memikat; lancar mengalir ceritanya yang diolah dari rangkaian kalimat,
juga segala perihal suasana berikut kesan yang dibangun oleh pengarangnya.
Cerita anak
ini berjudul “Pertandingan Gasing (Cerita Permainan Tradisional Anak Riau)”. Hal
judul sebuah karya fiksi pada dasarnya memiliki perbedaan dengan karya ilmiah.
Sebuah cerita fiksi (karya sastra; juga sastra anak) lebih lazim menggunakan
kalimat atau kata yang tidak kaku, sebagaimana penjudulan karya fiksi. Artinya
tidak mengarah kepada kesan ilmiah yang cenderung kaku. Judul yang disuguhkan Mulyati
Umar masih terasa kurang mengarah untuk menjadi penjudulan karya fiksi, yang
sebaliknya lebih terasa kepada penjudulan karya ilmiah seperti judul artikel
atau makalah. Apalagi ditambah keterangan pendukung di bawah judul utama.
Alangkah baiknya kalau judul tersebut mengarah saja kepada bentuk kalimat aktif
yang sederhana namun berkesan ke fiksi. Hal ini dapat kita contohkan dari
judul-judul cerita anak berikut: “Ayub Abon”, “Ketika Bunda adalah Guru
Kelasku”, “Laba-Laba Ibal”, “Rumah di Pinggir Rel”[4]
sekadar menyebutkan. Maka judul cerita Mulyati Umar dapat diperbaiki ke arah
tersebut menjadi seperti, antara lain: “Gasing Bertuah Ramli”, “Gasing-Gasing
di Kepala Ramli”, “Debar Gasing” atau “Si Jago Gasing” akan lebih sreg sebagai
penjudulan sebuah karya fiksi.
Selain itu,
cerita tersebut diawali dengan kalimat pembuka yang kurang “menggigit”. Kalimat
awal dirasa berpola kalimat keterangan yang datar. Cerita fiksi menuntut sebuah
“hentakan” pertama yang membuat pembaca tersentak. Ada hal yang menjadi sebuah
kesan membangun untuk terus mengajak pembaca menguntitnya. Hentakan awal itu,
terdapat di kalimat pembuka yang menjadi awal cerita. Ini berpengaruh kepada
daya cipta pengarang bagaimana mengolah sebuah paragraf awal dengan kalimat-kalimat
menarik. AS Laksana menyebutkan dalam sebuah ulasan di bukunya, “Tunjukkan,
jangan ceritakan.”[5]
Artinya, membangun kesan dalam cerita tersebut dengan pola-tingkah
tokoh-tokohnya akan lebih menarik ketimbang menceritakan tokoh.
Hal itu
dapat kita telisik, semisal kita ingin menceritakan sesuatu dari tokoh yang
sedang dilanda sedih. Dalam hal ini kita tidak perlu menyebutkan kata /sedih/
tapi tunjukkan bagaimana tingkah-laku tokoh yang sedang bersedih. Hal ini dapat
dicontohkan, “Akhir-akhir ini aku tidak lagi melihat Desi semangat ketika belajar.
Padahal setiap mata pelajaran selalu diikutinya dengan antusias. Kini, ia pun
sering duduk di posisi sudut, diam seribu bahasa. Padahal kami tahu ia paling
aktif. Tak jarang kami lihat matanya yang redup dan tubuhnya melemah seperti
dahan rapuh. Sekali waktu pernah kami melihat matanya memerah dan berair,
ketika kami mencoba bertanya kenapa, ia hanya menggeleng sambil berkata lirih,
‘tidak, hanya kelilipan saja.’ Padahal kami tahu hatinya remuk.” Hal itu
menunjukkan tentang apa yang dialami tokoh dari hal “sedih” tanpa ada kata-kata
“sedih” yang menyertainya, bentuk ini akan lebih terasa berkesan dalam
penyampaian cerita.
Cerita Mulyati
Umar dimulai dengan kalimat pembukaan berikut:
Cuaca
sangat cerah. Matahari bersinar dengan teriknya. Suhu udara juga terasa panas. Ramli
dan Budi bergegas pulang dari sekolah agar segera
sampai di rumah.
Ramli dan Budi sekarang duduk
di kelas 5 SD Harapan Baru. Sebuah sekolah dasar di kampungnya. Setiap hari mareka pulang dengan
berjalan kaki. Jarak sekolah dengan rumah cukup
jauh, di tempuh Ramli
dan Budi selama 30 menit. Mereka pulang sekolah sambil bersenda gurau
sehingga panas udara siang ini tidak begitu mereka hiraukan.
Pembukaan awal ini
setidaknya dapat diungkap lebih mengarah ke dalam bentuk metafor hingga
terkesan sebuah karya fiksi.
Budi
dan Ramli memayungi kepala dengan tas. Matahari sungguh terasa membakar kulit.
Namun mereka cukup kuat berjalan walau perut telah keroncongan. Sesekali dalam
obrolan itu, diselingi derai tawa hingga mereka tidak terlalu merasakan panas yang
menyengat itu.
Selain itu, penggunaan kata-kata perlu
ditinjau lebih jauh. Peninjuan kata dalam penggunaannya di kalimat sangat
berpengaruh untuk menjadikan kalimat yang efektif; padu, runtut, jelas, dan
tidak mengarah kepada bentuk berulang; atau boleh jadi akan terperosok kepada
ambigu. Termasuk pula dalam hal ini penggunaan kata hubung dan juga kata
keterangan tempat, waktu, suasana. Kalimat awal kedua bertuliskan, /matahari bersinar dengan teriknya/
dirasa mubazir. Hal ini dapat diubah menjadi kalimat utuh sebagai kalimat yang
menerangkan dengan bentuk /matahari
sangat terik/ atau /matahari bersinar
terik/. Dalam sebuah kalimat kadang-kadang tidak semuanya cocok dan pas
kita menggunakan kata hubung “dengan”. Adakalanya tanpa kata itu, kalimat kita
sudah menjadi bentuk kalimat utuh.
Kalimat
ketiga bertuliskan /suhu udara juga
terasa panas/ memiliki kesan kalimat biasa. Pengungkapan kalimat juga
dirasa masih belum tertata. Sebaiknya ditelisik lebih jauh antara kata “suhu”
dan “udara” yang mana kedua kata itu harus dibuang salah satunya. Kata /udara/
sudah mencerminkan “rasa” akan /suhu/, karena diiringi oleh kata /panas/ yang
menyertainya. Kalimat ini bisa diperbaiki menjadi, seperti: /udara terasa panas/ atau yang lebih ke
arah metafor /penas begitu menggila/
lebih terasa sebagai bentuk perumpamaan dalam penggambaran suasana yang “sangat
panas” itu.
Maka, cerita
fiksi lebih dirasa menyentuh dengan pengolahan metafor, karena akan memberi
suguhan keindahan akan kalimat. Selain dari bagaimana—seperti yang dikatakan
oleh AS Laksana—kita menyuguhkan cerita oleh pengolahan kalimat untuk tidak
mengatakan langsung tentang perkara, tetapi dengan menunjukkan kesan-kesan
tokoh lewat tingkah lakunya, gerak-geriknya, usahanya, yang hal tersebut
menunjukkan aktivitas dari tokoh. Ini akan lebih berkesan dalam karangan fiksi.
Cerita Mulyati
Umar pada dasarnya mengambil tema yang bagus, yaitu tentang budaya, dengan
menceritakan dua orang anak yang ingin ambil bagian dalam sebuah perlombaan
gasing. Bermain gasing adalah aktivitas yang dilakukan masyarakat Melayu. Aktivitas
yang patut ditunjukkan lagi oleh generasi kini. Sosok Budi dan Ramli dapat
menyimbolkan semangat itu dalam menghidupkan permainan rakyat. Namun dalam
cerita, unsur detail belum tampak. Apakah perlombaan gasing itu hanya untuk
anak-anak? Atau orang dewasa? Tidak ada keterangan jelas hal tersebut. Cerita
lebih menjurus usaha bagaimana kedua anak itu mendapatkan gasing dan mereka
bekerja keras membuatnya dengan dibantu oleh ayah si Budi. Memang akhirnya berhasil.
Namun dari sisi mereka menjalani pertandingan, tidak tampak banyak uraian
bagaimana mereka berjuang dalam bertanding. Tokoh Budi memang memenangi
pertandingan, namun Ramli gagal dalam bertanding hingga mengalami kesedihan.
Budi
mulai menggunakan
pahat untuk membuat sesuatu, Ramli mengamati dengan seksama. Ayah Budi datang
mengajar Budi. Budi
mulai memahat kayu
balok dengan pahat di tangan kiri dan palu kecil di tangan kanan. Ramli ikut
mengamatinya. Setelah beberapa waktu berlalu. Ramli penasaran. Ramli ingin ikut
apa yang dilakukan Budi. Budi sangat terampil mengunakan pahat.
“Budi,
aku juga mau memahat seperti kamu.” ujar Ramli dengan penasaran.
“Ayo
Ramli, mari belajar sama abah!” sahut ayah Budi.
“Kamu
ambil balok yang ada di sudut itu!” ucap Budi sambil menunjuk ke arah sudut
gudang. Ramli segera beranjak untuk mengambil balok kayu yang ditunjuk Budi.
“Kayu
ini cukup bagus, saya ambil ini saja.”guman Ramli sendiri.
“Abah,
apa yang akan kita buat?” ujar Ramli kepada ayah Budi.
Ayah
Budi mengambil kayu tersebut dan memberinya pola.
“Kamu
tadi sudah memperhatikan
apa yang dilakukan Budi dan sekarang
kamu ikuti!” sahut Ayah Budi kepada Ramli.
Setelah
itu Ramli mulai mengambil peralatan seperti yang digunakan Budi. Di tangan
Ramli sudah ada kayu balok, pahat dan palu. Ramli terlihat mulai memahat kayu
balok dengan mengunakan pahat dan palu. Ayah Budi mengajari Ramli cara memahat
bersama Budi. Budi
dan Ramli terlihat asyik di gudang kayu milik ayah Budi.
Teks di atas
menunjukkan semangat, rasa ingin tahu, dorongan untuk mencoba membuat gasing
menjadi sesuatu yang patut dihargai, apalagi bagi anak kecil yang dalam hal
ini—secara tidak langsung—menghargai budaya. Bukan tidak mungkin anak-anak
zaman kekinian ini tidak tahu, atau memang tidak mau tahu untuk bermain gasing
bahkan tidak berminat sama sekali dalam permainan itu, karena mereka lebih
asyik dengan benda-benda elektronik yang canggih di genggaman. Namun, melewati
cerita ini, Mulyati Umar, setidaknya—secara tak langsung—menyuguhkan kesan
untuk menghargai budaya melewati permainan rakyat. Setidaknya pula, sebagai
orang dewasa tentu kita kagum melihat anak-anak kecil yang semangat membuat
benda-benda kerajinan tangan (dalam hal ini gasing) yang kini telah jarang dan
hampir tidak tersentuh oleh tangan-tangan kaum melenial.
Namun,
perjuangan bertanding kedua tokoh itu (Budi dan Ramli) sayangnya tidak diceritakan
jauh dalam cerita ini. Setidaknya gambaran perjuangan mereka mendapat porsi
penceritaan yang lebih banyak, hingga mampu memberi pandangan akan judul
besarnya yaitu tentang “pertandingan gasing”. Bagaimana usaha keras, juga rasa
was-was (mungkin) dari kedua tokoh anak itu dalam bertanding untuk memberikan
hasil terbaik sebuah kemenangan. Setidaknya hal ini akan lebih menjadi cerita
heroik dan seru, ketimbang menceritakan dalam porsi besar bagaimana mereka
membuat gasing tersebut.
Bukankah
Ramli mengalami kekalahan? Kekalahan yang sebenarnya patut diceritakan lebih
runtut untuk mendapatkan komplikasi[6]
(puncak konflik) cerita. Sebagaimana
seorang yang telah habis-habisan berjuang untuk mendapatkan kemenangan dalam
sebuah pertandingan—apalagi hal itu jauh hari telah diidamkan dan
dipersiapkannya—nyatanya ia hanya mendapatkan kekalahan, ini sebuah hal yang
sangat “meremukkan” hati yang sejatinya perlu dikisahkan dengan apik.
Cerita ini
juga perlu dipertimbangkan untuk tidak banyak menggunakan kata yang diulang.
Seperti dalam menyebutkan orang dengan penyebutan namanya. Kita tidak perlu
mengulangi nama orang tersebut, namun cukup saja dengan menggunakan kata ganti
orang ketiga seperti /dia/ atau dalam bentuk jamak /mereka/.
Setelah itu Ramli mulai
mengambil peralatan seperti yang digunakan Budi. Di tangan Ramli sudah
ada kayu balok, pahat dan palu. Ramli terlihat mulai memahat kayu balok
dengan mengunakan pahat dan palu. Ayah Budi mengajari Ramli cara memahat
bersama Budi. Budi
dan Ramli
terlihat asyik di gudang kayu milik ayah Budi.
Cuaca
sangat cerah. Matahari bersinar dengan teriknya. Suhu udara juga terasa panas. Ramli
dan Budi bergegas pulang dari sekolah agar segera
sampai di rumah.
Ramli dan Budi sekarang duduk
di kelas 5 SD Harapan Baru. Sebuah sekolah dasar di kampungnya. Setiap hari mareka pulang dengan
berjalan kaki. Jarak sekolah dengan rumah cukup
jauh, di tempuh Ramli
dan Budi
selama 30 menit. Mereka pulang sekolah sambil bersenda gurau
sehingga panas udara siang ini tidak begitu mereka hiraukan.
Juga dalam
hal bentuk penggunaan kata yang telah berbentuk jamak, akan berpeluang kepada
ketidakajegan dalam proses pembacaan cerita oleh pembaca. Kata-kata yang telah
berpotensi memiliki makna “banyak” cukup berdiri sendiri karena telah memiliki
pondasi makna, ia tidak perlu disanding dengan kata keterangan lain.
Sore hari di balai
desa, Ramli ikut dalam pertandingan gasing. Banyak anak-anak di sana.
Tapi dalam pertandingan gasing dilakukan berpasangan dengan lawan mainnya. Budi
juga ikut
dalam pertandingan. Gasing Budi sudah menang. Gasing
siapa yang berhenti dahulu atau
bertabrakan dengan gasing lawan hingga terpental keluar lapangan berarti kalah.
Penggunaan
penyebutan nama yang berulang akan berpeluang pada kejenuhan pada proses
pembacaan, begitu pula penggunaan kata-kata yang telah bermakna “banyak”. Maka,
dalam hal ini peran linguistik dapat membantu kita dalam proses menyusun dan
menyikapi cerita fiksi.
Cerita ini
pada dasarnya utuh dan untuk itulah mampu memiliki potensi pengembangan cerita
yang menarik, oleh sebab tema yang diangkat Mulyati Umar mencerminkan
nilai-nilai budaya yang patut diangkat kembali. Apalagi dalam cerita ini tokoh
yang berperan adalah anak kecil yang notabenenya masih belia, telah mampu
semangat untuk ikut serta dalam pertandingan yaitu pertandingan gasing sebagai khasanah
permainan rakyat. Secara jauh, nilai-nilai ekstrinsik cerita Mulyati Umar ingin
mengajak kita menyikapi kembali akan budaya permainan rakyat ini, sambil
berkata pada diri kita yang tua-tua ini “sampai dimana kita peduli akan hal
itu?” dan hanya hati kita masing-masing yang merasakannya. Sedangkan tokoh Budi
dan Ramli mampu menjadi simbol pendobrak sekaligus—katakanlah—“tamparan” kecil
buat kita untuk menilai diri sebagai manusia modern ini yaitu jangan hanya
berkutat pada benda-benda modern, tetapi harus pula tetap menghargai benda-benda
masa lalu yang mana benda itu sejatinya juga memiliki peran dalam kehidupan,
apakah sebagai sarana pergaulan, kemudahan dalam pekerjaan, simbol yang bisa
menjadi kebanggaan suatu puak, hingga mampu menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Maka, hal itu sangat patut dipertahankan atau dilestarikan. Demikian. (*)
Selatpanjang, Juli 2020
------------------------------------------------
Riki
Utomi.
Penulis dan pendidik, juga penikmat karya sastra. Bukunya Mata Empat (cerpen, 2013), Sebuah
Wajah di Roti Panggang (cerpen, 2015), Mata
Kaca (2017), Menuju ke Arus Sastra
(esai, 2017), Belajar Sastra Itu Asyik
(nonfiksi, 2019), Amuk Selat (puisi,
2020), Anak-Anak yang Berjalan Miring
(cerpen, 2020). Bergiat di FLP Riau. Tinggal di Selatpanjang.
[1] Pedoman Penelitian Sastra Anak (edisi
revisi), Pusat Bahasa Jakarta, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2010.
Hal: 3.
[2]
“Hakikat Sastra Anak” (2009)
[3]
Lihat Engkos Kosasih “Jenis-Jenis Teks” (Analisis Fungsi, Struktur, dan Kaidah,
Serta Langkah Penulisannya) Yrama Widya, Bandung, 2012.
[4] “Jujur
dan Sahabatku” Antologi Cerita Anak Pilihan karya Guru. PT Penerbitan Sarana
Bobo, 2010.
[5] “Creative Writing” (Tips dan Strategi Menulis
untuk Cerpen dan Novel) Seri Menulis Jakarta School. MediaKita, 2006.
[6]
Lihat kembali Engkos Kosasih
0 comments:
Post a Comment