Cerpen
Mulyati Umar
Lantunan ayat suci sayup-sayup
berkumandang dari corong toa surau tua Syeh Marzuki. Angin dingin mulai berhembus,
hawa dingin lereng gunung Sago mulai merasuki tubuh. Apalagi sekarang musim
penghujan. Mak Karimah mulai menyiapkan diri untuk segera berangkat ke surau.
Mukena kiriman dari cucunya beberapa hari yang lalu ia ambil dari lemari,
matanya berbinar ketika membuka dari bungkus plastik. Di ciumnya mukena baru
itu, seakan mencium wajah cucu perempuannya anak Suman. Sudut matanya mengalir
buliran air membasahi pipinya. Wajah tuanya terlihat makin keriput, seiring
usianya makin senja. Rona kerinduan yang begitu terpancar dari matanya yang tinggal
seorang diri sejak suaminya meninggal setahun lalu.
“Wo, Meti kalau sudah besar nanti akan membelikan uwo mukena cantik,” ujar Meti kala itu. Terngiang-ngiang celetuk
gadis kecilnya dulu.
Senyum Mak Karimah
terlihat lagi di bibirnya. Pintu lemari kayu berlapis triplek mika berwarna
biru muda itu segera ditutupnya. Mak Karimah beranjak dari kamarnya dan menuju
ruang tengah. Diambilnya suluh, lalu mak Karimah menuju pintu rumah sambil
menuruni anak tangga rumah gadang, tak lupa mak Karimah menutup pintu dan
menguncinya. Sepanjang jalan Mak Karimah membawa angannya ke masa lalu. Saat
gadis kecilnya pergi mengaji ke surau, saat tangan kecil itu dibimbingnya.
“Meti, uwo sangat bahagia sekarang kau sudah
mulai pandai membaca Alqur’an. Angku Karim kemaren bilang sama ayah kau di depan
uwo, Tak lama lagi kau akan khatam
alquran, uwo bangga sekali.” kata Mak Karimah.
“Iya, wo.
Nanti Meti akan memakai baju khatam ya wo.
Meti mau warnanya putih mak.”
“Boleh, nanti uwo bilang sama ayah kau dulu,” sahut
Mak Karimah.
Angan masa lalu
menyinap dalam diri Mak Karimah sampai tak sadar Mak Karimah telah sampai di
halaman surau. Sudah seminggu Mak karimah tak datang ke surau. Kondisi badannya
tidak sehat. Deman yang menderanya membuat Mak Karimah tak bisa kemana-mana. Azan
magrib sudah mulai berkumndang, Mak Karimah bergegas mengambil wudhu, setelah
selesai kakinya melangkah masuk ke dalam surau. Setelah shalat magrib Mak
Karimah bersama jamaah lain mengaji bersama sampai waktu shalat isya datang
menjelang.
Malam makin larut, Mak
Karimah menyusuri anak tangan surau. Beberapa wanita tua sebayanya juga mulai
terlihat turun bersama, mengambil sandal dan mulai beranjak ke rumah
masing-masing sambil memegang suluh di tangannya. Hawa pergunungan mulai terasa
menusuk, dinginnya terasa sampai ke kulitnya yang makin keriput di makan usia.
Mak Karimah mendekap tangannya sambil terus menyusuri jalanan tanah. Pikirannya
berkelana jauh.
Di masa tuanya seorang
diri. Anak-anaknya sudah pada merantau. Hanya Sahar yang masih ada di kampung.
Istri Sahar orang kampung sebelah. Hembusan napasnya terdengar lirih. Suman,
anak tertua mak Karimah ikut merantau sejak Meti anak sulungnya yang tamat SMA pergi
mencari kerja ke kota. Tak berapa lama Suman pun menyusul Meti anaknya. Biasanya ada Suman yang selalu
datang menjenguknya, namun sekarang Mak Karimah sendiri.
Suaminya sudah setahun
meninggal dunia, serasa separuh jiwa Mak Karimah hilang. Hidupnya terasa hampa,
puluhan tahun bersama dengan Pak Saleh, membuat hidup Mak Karimah penuh warna,
punya suami yang menyayanginya. Setia sampai ajal menjemput. Pak Saleh seorang ketua
adat di kampungnya, sosok yang dihormati warga. Gelar yang tak bisa sembarang
orang mendapatkannya. Datuak Paduko Alam itulah gelar yang di sandangnya. Sosok
bijaksana dan sayang keluarga. Mak Karimah mengarungi hidup rumah tangganya
dengan suaminya dengan damai dan bahagia. Saat para suami yang mendapat gelar
di kampungnya lebih beristri satu, Datuak Paduko Alam tetap setia dengan Mak Karimah.
***
Mak Karimah sedang
duduk di dalam rumah. Dari jendela pandangannya jauh keburitan. Jalan di sana
terlihat sepi. Mak Karimah berharap akan
ada yang datang mengunjunginya. Sudah beberapa hari ini Mak Karimah sakit. Mak
Karimah jatuh terpeleset di jalan pulang dari surau. Pinggangnya sakit, Mak Karimah
tak bisa berjalan untuk sementara. Untuk kegiatan dalam rumah Mak Karimah
lakukan dengan menggeser pantatnya. Sahar anak laki keduanya belum juga memampakkan
batang hidungnya. Biasanya habis shalat subuh sudah datang menghampirinya.
Memasak air dan menyiapkan makanan untuk dirinya.
Dari kejauhan pandangan
Mak Karimah melihat sosok bayangan yang menuju ke rumahnya, semakin dekat
ternyata Meti, anak Suman yang merantau ke kota. Hati mak Karimah berbunga-bunga. Cucu yang
dirindukannya datang. Cucu pertamanya. Segera Mak Karimah beranjak ke pintu
masuk. Dulu Meti selalu menemaninya, kemanapun Mak Karimah pergi Meti ikut
bersamanya. Sayangnya Mak Karimah pada Meti tidak terkira yang bersamanya sejak
bayi. Meti sudah tinggal di rumah Mak Karimah. Ayahnya Meti, Suman selalu
membawa Meti ke rumah ibunya – Mak Karimah.
Langkah kaki Meti
semakin mendekat. Meti menghampiri Mak Karimah dan mencium tangannya,
dipeluknya wanita tua itu. Tangis Meti buncah saat melihat keadaan Mak Karimah.
setelah tiga tahun merantau baru kali ini Meti pulang. Mak Karimah duduk di
depan pintu sambil bersandar. Hati Meti terguguh pilu dalam diam. Mak Karimah
mulai bercerita, sudah dua hari belum mandi. Meti tak tinggal diam, bersegera
dia ke dapur menghidupkan perapian memanaskan air untuk mandi. Untung ada kayu
bakar di sana. Air mulai dipanaskan. Setelah siap Meti memasukkan ke dalam
baskom dan mengangkatnya ke kamar mandi. Meti memapah Mak Karimah yang kesulitan berjalan. Pinggangnya sakit
akibat jatuh berpeleset.
Mak Karimah dimandikan
Meti dengan telaten. Sekujur badan Mak Karimah disabuni hingga bersih. Mak
Karimah mandi sambil bercerita. Mak Karimah menceritakan masa kecil Meti di
rumah ini. Dulu baru menikah, ibunya Meti tinggal dengan dengan mertuanya
sampai Meti berusia 1 tahun. Selepas itu ayah Meti membuat gubuk kecil di tengah sawah di kampung
ibunya. Namun Meti sudah terikat hatinya dengan mak Karimah. Masa itu hidup
ayah Meti susah, ia bekerja di sawah orang mengambil upah harian. Mak Karimah
sangat sayang dengan Suman anak tertuanya. Mak Karimah selalu membantu Suman.
Kalau sudah panen, Mak Karimah tak lupa menyuruh Meti datang untuk mengambil
beras. Lamunan Meti buyar seketika.
“Meti, kalau suatu saat
nanti ajal menjemputku, kau tak perlu lagi memandikan aku. Karena kau sudah
mandikan uwo sekarang ini.” Ujar Mak
Karimah sambil tersenyum.
Meti mendengar itu
hanya diam, terpaku tak mengeluarkan suara sedikitpun. Tak punya anak perempuan
menjadi dilema bagi wanita di Minangkabau. Anak perempuan menjadi kebanggaan
yang akan menjadi penerus keturunan nantinya. Merawat di masa tua.
Di bibir tuanya yang
sudah keriput terselip senyum bahagia. Mak Karimah senang Meti datang pagi ini.
Di masa tuanya mak Karimah hidup
sendiri. Mak Karimah hanya dijaga oleh Sahar, tapi hanya melihat dan
mengantarkan makanan. Malam hari Kak Karimah sendiri.
Mak Karimah akhirnya
selesai mandi. Tak lupa Meti membantu mengeringkan tubuh Mak karimah yang makin
ringkih di makan usia. Meti menyiapkan air untuk berwudhu. Setelah selesai mak
Karimah dibawa ke kamarnya. Meti dengan
telaten memasangkan baju. Rambut mak Karimah yang sudah memutih tak lupa
Meti sisir, dijalinnya dengan rapi. Setelah mak Karimah bersih dan rapi, mak
Karimah dipapah Meti untuk duduk di ruang tengah. Tak berapa lama Sahar datang
mengantar makan untuk mak Karimah. Meti sedang membersihkan rumah, datang
menghampiri pamannya, menyapa dan mmemberi salam.
Mak Karimah sangat senang.
Meti ada bersamanya saat ini, harapannya Meti bisa lebih lama bersamanya, namun
harapannya tak sesuai kenyataan. Meti besok harus kembali lagi ke kota, Meti
kuliah sambil bekerja sebagai guru mengaji. Kuliahnya tak bisa ditinggalkan
dalam waktu yang lama. Mak Karimah duduk terpaku di beranda depan. Meti terpaku
dia dilema. Mak Karimah sedang sakit, tapi Meti harus kembali.
Beberapa hari sejak
kepulangan Meti, keadaan Mak Karimah makin membaik. Dia sudah bisa jalan
sendiri walau masih dibantu dengan tongkat. Kedatangan Meti menjadi pemicu
semangat Mak Karimah. Cucunya selalu datang kala sakit sedang menderanya. Walau
jauh, Meti berusaha untuk pulang melihat neneknya. Mesti ada yang
dikorbankannya. Meti sangat senang, melihat Mak Karimah sudah membaik,
secepatnya Meti kembali ke kota. Kuliah dan tugasnya sebagai guru mengaji sudah
dia tinggalkan selama seminggu. Mak Karimah berharap semoga Meti wisuda nanti
dia bisa hadir. Impian Suman anaknya bisa menjadi kenyataan melihat Meti
berhasil dalam pendidikan. Senyum terbit di bibir keriputnya. Meti, cucu yang
sangat menyayanginya.
***
Kabut dari lereng
gunung masih setia menyelimuti kampung pagi ini. Hujan yang turun semalam
membuat cuaca terasa lebih dingin dari biasanya. Sejak Meti balik ke rantau.
Mak Karimah menjalani hari-harinya seperti biasa. Mak Karimah sejak subuh tadi
sudah bangun. Rasa dingin menusuk tulang, sudah berapa hari ini kondisinya
kurang sehat. Sahar menemani Mak Karimah sejak dua hari yang lalu. Sahar setia
disamping Mak Karimah.
Ingatan Mak Karimah ke
masa lalu mengingat Meti. Sekarang tak ada lagi yang menyisirkan rambutnya yang
sudah memutih. Kebiasaan Meti dari dulu, setiap dekat dengan Ma Karimah, Meti
selalu menyisir rambutnya dengan rapi. Kalau siang hari lagi santai, Meti sibuk
di kepala Mak Karimah, mencari kutu. Hati Mak Karimah bahagia. Duduk bedua
ditemani cucunya Meti, menjadi kebahagiaan yang tak terkira bagi Mak Karimah.
Senyum terukir di
bibirnya yang keriput, bibirnya kalimah tauhid tak henti dilapazkannya. Sinar
mata tuanya mulai redup lalu perlahan terpejam hingga tubuhnya kaku dan mulai
terasa dingin. Sedingin cuaca pagi ini.(Mulyati
Umar)
Casinos in Malta - Filmfile Europe
ReplyDeleteFind the 코인카지노실시간바카라사이트 best Casinos in Malta 실시간카지노 including bonuses, games, games 카지노 사이트 and 벳 인포 the 바카라 검증 history of games. We cover all the main reasons to visit Casinos in