Welcome di Mentari Sago, kumpulan artikel pendidikan dan sastra baik berupa cerpen, puisi dan lain-lain

Wednesday, 16 December 2020

Cerpen Mulyati Umar BUNGA DI TEPI KUBUR

 


 

Hujan turun sejak siang tadi belum juga reda. Aku duduk di pendopo pondok sambil menunggu hujan yang mulai renyai. Aku menunggu mobil ambulan datang sambil menikmati secangkir kopi panas.  Sudah sebulan ini curah hujan cukup tinggi, bekerja di bawah guyuran hujan rasanya sangat melelahkan. Tapi bagaimana lagi, resiko yang mesti dijalani. Tadi siang posko penanggulangan bencana memberitahukan ada dua jenazah covid-19 yang akan dimakamkan sore ini juga. Aku harus bekerja ekstra mengali tanah meskipun  tubuh ini basah kuyup.

Hujan agak mereda beberapa menit yang lalu, tapi tampaknya masih jauh dari berhenti, biasanya hujan sedang-sedang saja ini bakal awet- hujan renyai. Bagi sebagian orang adalah hal yang meyenangkan tapi tidak bagi ku saat ini. Aku benar-benar berharap hujan reda. Tanah sekitar pemakaman mulai terkenang air, begitupun kuburan yang ku gali tadi bersama Sarmin.  Sarmin pergi berteduh ke posko yang ada di gerbang masuk area pemakaman ini. Aku sendiri hanyut dalam lamun.

Sudah beberapa bulan ini aku terkurung di sini, menjadi pengali kuburan bagi korban covid-19. Berat memang, tapi bagaimana lagi. Sekarang mencari kerja saja susah. PHK meningkat, ekonomi melemah. Ah…belum lagi beban hidup makin tinggi, namun aku mesti bersyukur ada gaji diharapkan dari pekerjaan ini untuk melanjutkan roda kehidupan. Aku ikut terjepit dalam hiruk pikuk pandemi yang mendera semua lini kehidupan masyarakat. Seakan-akan mereka berada di lorong sunyi kehidupan yang tak bertepi.  Belum lagi kondisi makin diperparah dengan banyaknya korban yang tak mengenal status sosial.

“Bah, pulsa Syarif habis.” Itu ucapan anakku di telepon tadi pagi sebelum beranjak dari posko ke sini. Belajar di masa sekarang, membuat aku makin kelimpungan. Bagaimana tidak, setiap hari Syarif mengeluh tak mengerti pelajaran dan yang membuat diri ini gundah, beli pulsa paket habis. Belum lagi kebutuhan sehari-hari. Syarif tak ada yang membimbing belajar, Maknya sudah kerepotan mengurus adiknya yang masih balita dua orang. Aku duduk gamang  dengan pandang kosong ke depan. Tak sanggup lagi berpikir apa yang mesti aku lakukan saat ini. Tugas yang dikirimkan gurunya setiap hari makin menumpuk.

***

Hujan masih belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti. seakan merasakan apa yang menimpahku. Tapi aku tak boleh larut dalam keadaan begini, batinku. Bagaimana nanti nasib anak-anakku? Aku mesti tegar menghadapi kondisi yang makin menjepit ini.

Menjadi penggali kuburan korban covid-19 cukup menakutkan bagi orang lain, resiko terpapar jadi momok yang sangat menakutkan. Sejak pandemi mewabah di kota ini, korban sudah mencapai ratusan. Semua dimakamkan di sini. Aku tak leluasa balik ke rumah menemui anak istri. Resiko pekerjaan yang menyebabkanku harus siap siaga di posko yang disiapkan di gerbang pemakaman ini.

Sejak bekerja di sini enam bulan yang lalu, aku tak diperbolehkan pulang. Karena bisa membahayakan istri dan anak. Itu alasannya. Rasanya sangat mengada-ngada, sudah tiga bulan tak bertemu mereka.  Namun aku selalu berusaha untuk mengunjunginya. Walau hanya sekejap.

Banyak cerita yang aku dapat beberapa waktu ini, membuat dadaku terasa nyeri. Aku tidak tahu apakah bisik-bisik dari perawat yang mengantar jenazah ini benar atau tidak. Perlakuan yang didapatkan korban, apakah itu benar adanya. Entahlah, aku tidak tahu. Rasanya begitu banyak rahasia yang terkubur di sini  bersama kepergian korban itu sendiri.

Hujan masih renyai, rintik-rintiknya seakan menyirami jiwaku. Aku mulai lelah. Beban hidup makin berat. Sudah dua bulan ini aku belum menerima gaji. Ucapan Syarif tadi pagi makin membuat dadaku sesak. Rasa ini terasa lebih parah dari keluarga korban yang terkubur di sini. Gaji, itulah yang sangat dibutuhkan saat ini. Tim penanggulangan bencana jadi garda terdepan dalam menangani hal ini. Tapi sekali lagi gaji - upah yang mesti diterima.  Hal yang sangat diharapkan, sampai saat ini belum dibayar. Alasan pemda defisit anggaran.

Sungguh menyedihkan. Sangat ironi, dimana anggaran di tempat lain dipangkas untuk penanggulangan covid-19, belum lagi alokasi dari pemerintah yang menambah anggaran.  Namun para tenaga medis dan lain-lain belum mendapatkan insentif yang dijanjikan. Tapi sudahlah, itu wewenang mereka yang di atas. Aku ini siapalah, hanya penggali kubur bagi korban.  Biarkanlah elit di sana yang memikirkan.

***

            Aku tipe manusia tak suka berleha-leha. Duduk santai-santai. Itu bukan aku. Aku benci pengangguran.  Dengan sebilah sabit tanganku luwes  membabat rumput liar di lahan kosong tak jauh dari lokasi pemakaman. Bersama Sarmin, aku menanami lahan kosong dengan bibit bunga. Bermodal botol minum bekas aku dan Sarmin mulai menaman bibit bunga. Mengisi waktu kosong, sambil menunggu informasi dari posko.

            Sejak pandemi, banyak ibu-ibu yang mulai mengila dengan menanam bunga di rumahnya. Pot berwarna putih jadi primadona. Berbagai jenis bunga jadi topik pembicaraan di media sosial. Para mak-mak berlomba mengirim status di beranda media sosial mereka. Kegilaan ibu rumah tangga akan tanaman bunga, mengelitik hatiku dan Sarmin  untuk ikut.

            Sebulan berselang, bibit bunga yang aku tanam dan Sarminpun mulai mengeliat, tumbuh dengan baik. Bermodal telepon pintar, akupun mulai menjual secara luas melalui online.  Caranya cukup mudah, foto bunganya lalu sematkan di beranda media sosial.

Sampai sekarang, gaji dari sebagai penggali kubur tenaga kontrak pemda belum cair, ada sedikit harapan dari usahaku bersama Sarmin. Menjual bunga. Lumayan hasilnya. Bisa membantu keadaan ekonomi saat ini, pikirku.

***

Sudah sebulan ini curah hujan cukup masih tinggi. Aku lebih banyak berdiam di posko yang tak jauh dari area pemakaman. Tapi dari pagi cuaca cukup cerah, sinar mentari memancarkan sinarnya. Tak ada kabar dari Posko induk untuk menggali kubur hari ini. aku dan Sarmin beranjak ke lahan kosong yang digunakan untuk menanam bibit bunga. Pesanan dari beberapa ibu rumah tangga hari ini mau di kirim memakai jasa ojek online.

Tak lama berjalan dengan Sarmin. Ingatanku kembali ke Syarif. Sudah empat hari tak ada kabar beritanya. Biasanya selalu menceritakan tugas sekolahnya dan yang tak pernah lupa kalimat itu. Hanya pesan dari istri menyatakan kalau dia baik-baik saja.

 “Bah, Pulsa Syarif habis”. Aku tersenyum sambil mengelengkan kepala. Harapan pagi ini semoga secerah mentari pagi yang bersinar memberi kehidupan. Impiannya akan mendapatkan pulsa membuatku semakin semangat menanam bibit baru.

Sampai tempat tujuan. Bibit bunga pesanan konsumen mulai ku susun. Benar-benar keberuntungan, itu pikirku. Di tenagh pandemic, gaji belum dibayar ada hasil buah dari ketekunan yang aku jalani bersama Sarmin. Setelah semua rapi mulai pengantaran pesanan ke pelanggan. Ojek online jadi alat transportasi yang sangat dibutuhkan saat ini.  Impianku untuk mengirimkan Syarif pulsa terwujud sudah.

***

Aku terduduk lemas ditanah yang cukup basah karena hujan semalam. Kabar dari Karmila istriku pagi ini membuat seluruh sendi tubuh ini runtuh. Tubuhku gemetar menahan tangis. Syarif, anak lelakiku satu-satunya sudah dua minggu di karantina. Sejak seminggu yang lalu panas tubuh anakku makin meningkat. Setelah diperiksa pihak rumah sakit Syarif dinyatakan positif terpapar covid-19. Itulah perkataan yang disampaikan istriku. Terlebih lagi yang membuatku tak sanggup menahan lara, Syarif tak bisa dijengguk. Duniaku seakan runtuh Cuaca cerah pagi ini tak memberi warna bagi diriku, namun membawa hati berkabut duka.

“Syarif, maafkan Abah”, gumamku lirih.

&&&

0 comments:

Post a Comment