Hujan
turun sejak siang tadi belum juga reda. Aku duduk di pendopo pondok sambil
menunggu hujan yang mulai renyai. Aku menunggu mobil ambulan datang sambil
menikmati secangkir kopi panas. Sudah
sebulan ini curah hujan cukup tinggi, bekerja di bawah guyuran hujan rasanya
sangat melelahkan. Tapi bagaimana lagi, resiko yang mesti dijalani. Tadi siang
posko penanggulangan bencana memberitahukan ada dua jenazah covid-19 yang akan dimakamkan sore ini
juga. Aku harus bekerja ekstra mengali tanah meskipun tubuh ini basah
kuyup.
Hujan
agak mereda beberapa menit yang lalu, tapi tampaknya masih jauh dari berhenti,
biasanya hujan sedang-sedang saja ini bakal awet- hujan renyai. Bagi sebagian
orang adalah hal yang meyenangkan tapi tidak bagi ku saat ini. Aku benar-benar
berharap hujan reda. Tanah sekitar pemakaman mulai terkenang air, begitupun
kuburan yang ku gali tadi bersama Sarmin.
Sarmin pergi berteduh ke posko yang ada di gerbang masuk area pemakaman
ini. Aku sendiri hanyut dalam lamun.
Sudah
beberapa bulan ini aku terkurung di sini, menjadi pengali kuburan bagi korban covid-19. Berat memang, tapi bagaimana
lagi. Sekarang mencari kerja saja susah. PHK meningkat, ekonomi melemah.
Ah…belum lagi beban hidup makin tinggi, namun aku mesti bersyukur ada gaji
diharapkan dari pekerjaan ini untuk melanjutkan roda kehidupan. Aku ikut
terjepit dalam hiruk pikuk pandemi yang mendera semua lini kehidupan
masyarakat. Seakan-akan mereka berada di lorong sunyi kehidupan yang tak
bertepi. Belum lagi kondisi makin
diperparah dengan banyaknya korban yang tak mengenal status sosial.
“Bah,
pulsa Syarif habis.” Itu ucapan anakku di telepon tadi pagi sebelum beranjak
dari posko ke sini. Belajar di masa sekarang, membuat aku makin kelimpungan.
Bagaimana tidak, setiap hari Syarif mengeluh tak mengerti pelajaran dan yang
membuat diri ini gundah, beli pulsa paket habis. Belum lagi kebutuhan
sehari-hari. Syarif tak ada yang membimbing belajar, Maknya sudah kerepotan
mengurus adiknya yang masih balita dua orang. Aku duduk gamang dengan pandang kosong ke depan. Tak sanggup
lagi berpikir apa yang mesti aku lakukan saat ini. Tugas yang dikirimkan
gurunya setiap hari makin menumpuk.
***
Hujan
masih belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti. seakan merasakan apa yang
menimpahku. Tapi aku tak boleh larut dalam keadaan begini, batinku. Bagaimana nanti
nasib anak-anakku? Aku mesti tegar menghadapi kondisi yang makin menjepit ini.
Menjadi
penggali kuburan korban covid-19 cukup menakutkan bagi orang lain, resiko
terpapar jadi momok yang sangat menakutkan. Sejak pandemi mewabah di kota ini,
korban sudah mencapai ratusan. Semua dimakamkan di sini. Aku tak leluasa balik
ke rumah menemui anak istri. Resiko pekerjaan yang menyebabkanku harus siap
siaga di posko yang disiapkan di gerbang pemakaman ini.
Sejak
bekerja di sini enam bulan yang lalu, aku tak diperbolehkan pulang. Karena bisa
membahayakan istri dan anak. Itu alasannya. Rasanya sangat mengada-ngada, sudah
tiga bulan tak bertemu mereka. Namun aku
selalu berusaha untuk mengunjunginya. Walau hanya sekejap.
Banyak
cerita yang aku dapat beberapa waktu ini, membuat dadaku terasa nyeri. Aku
tidak tahu apakah bisik-bisik dari perawat yang mengantar jenazah ini benar
atau tidak. Perlakuan yang didapatkan korban, apakah itu benar adanya. Entahlah,
aku tidak tahu. Rasanya begitu banyak rahasia yang terkubur di sini bersama kepergian korban itu sendiri.
Hujan
masih renyai, rintik-rintiknya seakan menyirami jiwaku. Aku mulai lelah. Beban
hidup makin berat. Sudah dua bulan ini aku belum menerima gaji. Ucapan Syarif
tadi pagi makin membuat dadaku sesak. Rasa ini terasa lebih parah dari keluarga
korban yang terkubur di sini. Gaji, itulah yang sangat dibutuhkan saat ini. Tim
penanggulangan bencana jadi garda terdepan dalam menangani hal ini. Tapi sekali
lagi gaji - upah yang mesti diterima. Hal
yang sangat diharapkan, sampai saat ini belum dibayar. Alasan pemda defisit
anggaran.
Sungguh
menyedihkan. Sangat ironi, dimana anggaran di tempat lain dipangkas untuk
penanggulangan covid-19, belum lagi alokasi dari pemerintah yang menambah
anggaran. Namun para tenaga medis dan
lain-lain belum mendapatkan insentif yang dijanjikan. Tapi sudahlah, itu
wewenang mereka yang di atas. Aku ini siapalah, hanya penggali kubur bagi korban. Biarkanlah elit di sana yang memikirkan.
***
Aku tipe manusia tak suka
berleha-leha. Duduk santai-santai. Itu bukan aku. Aku benci pengangguran. Dengan sebilah sabit tanganku luwes membabat rumput liar di lahan kosong tak jauh
dari lokasi pemakaman. Bersama Sarmin, aku menanami lahan kosong dengan bibit
bunga. Bermodal botol minum bekas aku dan Sarmin mulai menaman bibit bunga.
Mengisi waktu kosong, sambil menunggu informasi dari posko.
Sejak pandemi, banyak ibu-ibu yang
mulai mengila dengan menanam bunga di rumahnya. Pot berwarna putih jadi
primadona. Berbagai jenis bunga jadi topik pembicaraan di media sosial. Para
mak-mak berlomba mengirim status di beranda media sosial mereka. Kegilaan ibu
rumah tangga akan tanaman bunga, mengelitik hatiku dan Sarmin untuk ikut.
Sebulan berselang, bibit bunga yang
aku tanam dan Sarminpun mulai mengeliat, tumbuh dengan baik. Bermodal telepon
pintar, akupun mulai menjual secara luas melalui online. Caranya cukup mudah,
foto bunganya lalu sematkan di beranda media sosial.
Sampai sekarang, gaji dari sebagai
penggali kubur tenaga kontrak pemda belum cair, ada sedikit harapan dari
usahaku bersama Sarmin. Menjual bunga. Lumayan hasilnya. Bisa membantu keadaan
ekonomi saat ini, pikirku.
***
Sudah sebulan ini curah hujan cukup
masih tinggi. Aku lebih banyak berdiam di posko yang tak jauh dari area
pemakaman. Tapi dari pagi cuaca cukup cerah, sinar mentari memancarkan
sinarnya. Tak ada kabar dari Posko induk untuk menggali kubur hari ini. aku dan
Sarmin beranjak ke lahan kosong yang digunakan untuk menanam bibit bunga.
Pesanan dari beberapa ibu rumah tangga hari ini mau di kirim memakai jasa ojek online.
Tak lama berjalan dengan Sarmin.
Ingatanku kembali ke Syarif. Sudah empat hari tak ada kabar beritanya. Biasanya
selalu menceritakan tugas sekolahnya dan yang tak pernah lupa kalimat itu.
Hanya pesan dari istri menyatakan kalau dia baik-baik saja.
“Bah, Pulsa Syarif habis”. Aku tersenyum
sambil mengelengkan kepala. Harapan pagi ini semoga secerah mentari pagi yang
bersinar memberi kehidupan. Impiannya akan mendapatkan pulsa membuatku semakin
semangat menanam bibit baru.
Sampai tempat tujuan. Bibit bunga
pesanan konsumen mulai ku susun. Benar-benar keberuntungan, itu pikirku. Di
tenagh pandemic, gaji belum dibayar ada hasil buah dari ketekunan yang aku
jalani bersama Sarmin. Setelah semua rapi mulai pengantaran pesanan ke
pelanggan. Ojek online jadi alat
transportasi yang sangat dibutuhkan saat ini. Impianku untuk mengirimkan Syarif pulsa terwujud
sudah.
***
Aku terduduk lemas ditanah yang cukup
basah karena hujan semalam. Kabar dari Karmila istriku pagi ini membuat seluruh
sendi tubuh ini runtuh. Tubuhku gemetar menahan tangis. Syarif, anak lelakiku
satu-satunya sudah dua minggu di karantina. Sejak seminggu yang lalu panas
tubuh anakku makin meningkat. Setelah diperiksa pihak rumah sakit Syarif
dinyatakan positif terpapar covid-19. Itulah perkataan yang disampaikan
istriku. Terlebih lagi yang membuatku tak sanggup menahan lara, Syarif tak bisa
dijengguk. Duniaku seakan runtuh Cuaca cerah pagi ini tak memberi warna bagi
diriku, namun membawa hati berkabut duka.
“Syarif,
maafkan Abah”, gumamku lirih.
&&&
0 comments:
Post a Comment