Sebuah cerpen Mulyati Umar
Hawa dari lereng gunung Sago membawa kesejukkan, angin sepoi-sepoi. Wo Ki’ah, dengan selendang mengelayut menyilang di kepalanya asyik menganyam lapiak dari daun mensiang. Di halaman samping rumah, dekat pohon rambutan yang sedang berbuah. Kulit tangannya yang keriput tak menghalangi Wo Ki’ah dalam bekerja, dengan cekatan membuat anyaman yang rapi dan indah. Dibalik usianya sudah dimakan waktu, Wo Ki’ah masih terlihat segar dan kuat. Wajah tuanya yang keriput terlihat tetap tegar menghadapi kerasnya hidup. Sejak suaminya meninggal 40 tahun yang lalu, Wo Ki’ah memenuhi kebutuhannya dengan anyaman yang dibuatnya. Empat orang anak Wo Ki’ah 3 laki-laki dan seorang perempuan sudah berkeluarga dengan hidup yang pas-pasan, tak bisa diharapkan untuk menopang biaya hidupnya. Saat anaknya Tuan Sahar menggadaikan harta pusaka. Wo Ki’ah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Semua anak lakinya sudah sepakat dan tak peduli dengannya. Maka Wo Ki’ah berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya send
Hari ini Wo Ki’ah dapat membuat lapiak
pesanan dari Iroh. Dua hari yang
lalu Iroh datang memesan lapiak yang agak besar. Dengan pesanan seperti ini,
Wo Ki’ah tidak khawatir dengan keadaannya. Hasilnya nanti cukup untuk belanja
sehari-hari. Anyaman daun mensiang Wo Ki’ah memang sudah terkenal di kampungnya. Warga dari kampung sebelah
juga sangat mengenal Wo Ki’ah dengan hasil anyamannya yang rapi dan indah.
Sedang asyik menganyam lapiak,
tiba-tiba,
“Wo Ki’ah tolong buatkan Salim kombuik, kecil saja ya,” ujar Salim, anak Angku Rasyid.
“ Untuk apa, Lim?” balas Wo Ki’ah.
“Tempat bawa nasi pergi gembala
kambing,” sambungnya lagi. Wo Ki’ah tetap asyik dengan anyaman di tangannya sambil melihat
kepada Salim.
“Dulu kan sudah Uwo buatkan untuk waang.”
“Iya,Wo. Sudah putus talinya, makanya Salim ingin Uwo
buatkan lagi yang baru.”
Mendengar jawaban Salim, Wo Ki’ah
terlihat manggut-manggut.
“Lim, Uwo siapkan dulu lapiak ini, ya. Ini pesanan Iroh yang
rumahnya dekat dengan rumahmu. Katanya tikar ini mau
dibawanya ke pesantren. Untuk anaknya yang sekolah di sana,”
ujar Wo Ki’ah.
“Oh, iya, Wo. Uda Muslim akan kembali
ke pesantren minggu depan katanya.”
“Kemarin awak dengar Uda Mus
cerita dengan Umi. Uda Muslim itu sekolah di Thawalib
Parabek. Awak kalau sudah tamat sekolah juga ingin sekolah di sana Wo. Umi sama abah ingin awak masuk sekolah sama
dengan Uda Muslim itu,” celoteh Salim.
“Baguslah kalau waang ingin masuk ke Thawalib itu,” ujar Wo Ki’ah.
“Kalau waang masuk ke sana, banyak ilmu agama yang
akan waang dapatkan. Menjadi bekal untuk masa
depan dan masa tua nanti,” sambung Wo Ki’ah.
“Iya, doakan awak ya, Wo. Semoga cita-cita awak terwujud. Wo, awak pergi menggembalakan kambing dulu ya. Nanti Umi awak cemas pula kalau lama di sini. Kalau sudah siap lapiak itu, buatkan kombuik kecil untuk awak lagi ya, Wo. Assalamualaikum,”
ucap Salim sambil beranjak
pergi.
“Wa’alaikumsalam, iya.” jawab Wo Ki’ah.
Sebelum beranjak, Salim menatap takjub
dengan kecekatan tangan Wo Ki’ah menganyam satu persatu daun mensiang yang
sudah dikeringkan. Walau sudah sepuh tapi Wo Ki’ah tak pernah menunjukkan
letihnya dalam menganyam lapiak mensiangnya.
***
“Muna, anak kau si Rosni mau sekolah,
mengapa tak kau lanjutkan sekolah?” tanya Wo Kiah kepada anaknya. “Mak, cam mana nak sekolahkan anak, untuk
makan saja susah, bapaknya Rosni juga tak bekerja,” balas Muna.
“Sawah peninggalan abak sudah
digadaikan Tuan Sahar, bagaimana lagi nasib awak nih mak,” timpal Muna menraut
daun mensiang. Raut wajahnya terlihat sedih.
Mendengarkan perkataan Muna, Wo Kiah
termenung. Ingat dengan tingkah anak
laki-lakinya. Harta pusaka habis digadaikan sama
anaknya. Wati, anak Tuan Sahar masuk sekolah perawat, membutuhkan uang yang
banyak. Malang Rosni, cucunya tak bisa sekolah. Wo Ki’ah di usia senja ia masih
berkerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tiba-tiba lamunannya Wo Ki’ah terhenti.
“Tadi Salim, anak Iroh kemari, ingin
pula saya melihat anak kau sekolah, seperti si Muslim tu,” kata Wo Ki’ah.
“Macam mana lagi mak, untuk makan saja awak sudah susah. Uang dari mana untuk
biaya sekolahnya Rosni?” balas Muna.
Entah bagaimana lagi cara Muna, dalam
hatinya ingin seklai Rosni melanjutkan sekolah. Peninggalan abaknya sudah
digadaikan pula sama Tuan Sahar, kakak laki-kalinya paling tua. Iba hati Muna,
tak terkira, Rosni yang mesti sekolah, tak bisa dilanjutkan, sedangkan
peninggalan ayahnya digadaikan untuk biaya anak kakaknya.
Pekan lalu, sehabis magrib Tuan Sahar memintanya berkumpul di rumah Wo
Ki’ah, amaknya. Tujuan Tuan Sahar minta tanda tangannya. Muna, sudah mengatakan kalau dia tidak mau
sawah peninggalan pusako mau digadaikan
lagi, itupun untuk anak Wati. Sedih tak
terkira di hati Muna, mengetahui hal itu. Harta warisan untuk Muna, anak
perempuannya juga membutuhkan biaya.
“Tuan, awak
tak sudi kalau tuan nak mengadaikan tanah pusako untuk sekolah anak tuan,tega
sekali tuan nak mengadaikan dan hasilnya
tuan bawa ke rumah bini tuan, itu tanah pusaka kita,” kata Muna kala itu.
“Kalau kau
tak mau tekan surat ini, tak masalah, adik-adik kau yang lain sudah,” timpal
Tuan Sahar ketus.
Sahar, kau
ingatlah anak Muna, si Rosni. Dia juga mau sekolah, dia itu kemenakan engkau
Sahar,”sahut wo Ki’ah terdengar sedih.
“Amak tak usah risau, nantilah itu kita
pikirkan,” balas Tuan Sahar dengan enteng.
Tak peduli.
Muna tertunduk lesu, mendengar
pernyataan kakaknya. Sejak dulu Sahar suka mengadaikan tanah pusaka, tak
perduli dia akan kehidupan Wo Ki’ah dan
Muna.
“Tuan dari dulu selalu bercakap begitu,
tapi sampai sekarang semuanya tuan bawa kerumah bini tuan, mana pernah tuan
bertanya keadaaan kami?” kata Muna emosi.
“Sudahlah, jangan kalian bersangahan di
depan amak!” kata Wo Ki’ah dengan tegas, berlinang air matanya.
Tuan Sahar beranjak ke luar dari dalam
rumah, dengan marah.
Wo Ki’ah terdiam, sembari menikmati
udara malam, menumpahkan segala risau dan gundahnya.
***
Pulang sekolah, Salim singgah ke rumah
Wo Ki’ah. Hal itu memang sering dilakukan Salim.
“Eh, waang Salim. Sudah pulang sekolah?” ujar Wo Ki’ah sambil
tersenyum. Terlihat ada sugi yang diselip di
balik bibirnya yang keriput.
“Sudah, Wo.” jawabnya enteng.
Wo Ki’ah suka mengunyah sugi. Sugi itu terdiri dari
daun sirih, gambir, dan ditambah sedikit soda. Setelah halus dikunyah, akan diselipkannya di
balik bibirnya sebelah kiri atas. Itulah Wo Ki’ah, nenek yang energik,” gumam
Salim lirih.
“Wo,
bagaimana dengan kombuik pesanan awak, sudah siap?” ujar Salim.
“Sudah, tunggu ambo ambil dulu ke atas rumah,” jawab Wo
Ki’ah sambil berdiri dari tempat duduknya. Wo Ki’ah
segera mengambil tongkatnya. Karena
sudah bungkuk, jadi beliau tak bisa lagi berjalan lurus.
“Wo, awak saja yang mengambil kombuiknya
ya. Uwo duduk saja”timpal Salim cepat.
“Oh, baiklah. Ambo gantung di paku dekat tiang tengah rumah,” balas Wo Ki’ah sambil
duduk kembali dan melanjutkan anyamannya.
Secepat kilat Salim berlari ke atas
rumah Wo Ki’ah dan mencari kombuik
kecil pesanannya. Salim melihat sekeliling rumah. Nampak dalam rumah ada
tiang besar penyangga rumah. Di sana tergantung kombuik kecil yang diinginkan Salim.
Wajah Salim tampak senang karena siang ini pulang sekolah ia bisa membawa
bekal.
Segera
diambilnya kombuik kecil itu dan
turun dari atas rumah menuju ke tempat Wo Ki’ah menganyam. Ketika hendak
membalikkan badan, mata Salim melihat bayangan di sudut
rumah yang tertutup kain. Salim menoleh kearah bayangan itu,
namun bayangan itu sudah hilang. Dengan langkah penasaran Salim
mendekat ke sudut rumah. Tiba-tiba terdengar suara parau dari Wo Ki’ah.
“Salim, ketemu kombuiknya? Kalau sudah
cepatlah turun dari atas rumah tu.”
“iya, Wo, ada,” jawab Salim. Dengan langkah penasaran
Salim keluar dari rumah Wo Ki’ah.
“Terima
kasih ya, ini ada titipan Umi Salim,” ujar Salim sambil
menyerahkan amplop putih ke tangan Wo Ki’ah.
“Alhamdulillah.”
“Terima kasih banyak ya, Salim, sampaikan sama
Umi waang ya,” jawab Wo Ki’ah sambil
memasukkan ke dalam tas kain kecil yang dililitkan di pinggang balik bajunya.
***
Setelah beberapa minggu sejak Tuan
Sahar datang , Wo Ki’ah tak terlihat lagi di halaman menganyam daun mensiang. Hari ini Salim sengaja datang karena diminta Uminya
singgah ke rumah Wo Ki’ah untuk melihat keadaannya. Maklumlah Wo Ki’ah tinggal sendirian
di rumahnya. Muna, anaknya sudah tinggal di rumahnya sendiri.
Sudah beberapa hari ini Wo Ki’ah tak
datang ke rumah nenek Salim untuk mengaji. Biasanya habis Magrib malam Selasa
dan malam Jumat di rumah Salim, orang-orang tua di kampung pergi mengaji dan
memdalami ilmu agama ke rumah nenek Salim.
Uwo Roya, adalah nenek Salim yang
tamat sekolah Diniyah Putri Padang Panjang. Di kampong, Uwo Roya terkenal dengan
kedalaman ilmu agamanya apalagi menyangkut Nahru Sharof. Makanya banyak orang tua
di kampung mempelajari ilmu agama di tempatnya, khususnya perempuan.
“Assalamualaikum,” ucap Salim sambil
mengetuk pintu rumah Wo Ki’ah yang tertutup rapat.
“Wa’alaikumsalam, masuk saja. Tak
dikunci,” terdengar lirih suara Wo Ki’ah
dari dalam rumah.
Segera Salim membuka pintu dan masuk ke dalam rumah Wo Ki’ah.
Didapati dalam rumah Wo Ki’ah sedang terbaring lemah sendirian. Bergegas Salim
menghampirinya.
“Wo, sakit apa?” tanya Salim sambil meraba
kepala Wo Ki’ah. “Tak panas,” gumam Salim. Mata Wo Ki’ah sedikit terpejam,
napasnya lemah.
“Wo, awak panggilkan Uwo Roya sebentar ya,” sambung Salim. Dengan
berlari Salim memanggil Umi dan Uwonya. Tak beberapa lama mereka datang dengan tergesa-gesa.
Uwo Roya dan Umi memeriksa keadaan Wo Ki’ah. Terlihat wo Ki’ah
semakin lemah. Napasnya pun mulai sesak.
“Ada apa , Uwo?” ujar Umi Salim.
“Tadi polisi datang ke sini. Menggeledah rumah tua awak ni. Anak awak yang Sahar, ditangkap polisi,” cerita Wo Ki’ah
terbata-bata.
“Sahar, dituduh membuat setifikat
palsu. Hancur rasanya hati ini Roya, rasa
hilang nyawa di badan. Begitu berat derita yang saya alami,”
tangis Wo Ki’ah pun pecah.
***
Sore itu keadaan wo Ki’ah mulai
membaik. Wo Roya, terlihat menemani. Wo Roya membesarkan hari Wo Ki’ah,
kesabaran dan ketabahan akan menuntun ke surge, itulah yang sering di sampaikan
Wo Roya, kala memberikan petuah-petuah saat pengajian di rumahnya.
Muna, dengan sabar merawat amaknya.
“Muna,
bagaimana anak kau Rosni, kemana dia nak
melanjutkan sekolah?” kata Wo Roya.
“Belum tahu wo, awak ingin di sekolah
tinggi, tapi apalah daya,” kata Muna sedih.
“Anak kau tu kan pandai, sayang kalau
tak melanjutkan sekolah. Awak ada kenalan punya pesantren, nanti anak kau
akan awak bantu untuk masuk sekolah
di sana,” balas Wo Roya sambil tersenyum.
“Mau kau Muna?’ kata Wo Roya lagi.
Muna tak bisa berkata-kata, dia begitu
terharu, harapannya.
“Alhamdulillah, terima kasih ya Roya,
kau sudah membantu cucu awak untuk terus sekolah.” Kata Wo Ki’ah bahagia.
Wajah tuanya memancarkan sinar bahagia, impiannya terhadap cucunya seakan sudah terwujud. Gurat bahagia terekam di pancaran mata tuanya. (Mulyati Umar, Pekanbaru, Oktober 2018)
Kombuik– sejenis anyaman
berbentuk tas yang terbuat dari daun mensiang.
Awak- pangilan kepada diri
sendiri dalam bergaul dengan yang lebih tua.
Uwo- sebutan untuk
nenek-nenek
Waang-panggilan untuk teman
atau orang yang lebih muda artinya kamu.
Cerpen ini sudah ada di buku Kumpulan Cerpen " Perempuan Telaga" yang merupakan Cerpen Juara 3 dalam Lomba Cerpen Guru Tahun 2018.
izin copas cerpennya untuk ditampilkan di blog flp riau ya buk. hehehe
ReplyDelete