Proses pembuatan kebijakan publik apa pun pada umumnya berawal dari adanya awareness of a problem (kesadaran akan adanya masalah tertentu). Gagalnya kebijakan tertentu dalam upayanya mengatasi suatu masalah pada suatu tingkat yang dianggap memuaskan. Tapi, pada situasi lain, awal dimulainya proses pembuatan kebijakan publik juga bisa berlangsung karena adanya masalah tertentu yang sudah sekian lama dipersepsikan sebagai "belum pernah tersentuh" oleh atau ditanggulangi lewat kebijakan pemerintah.
Pada titik ini kemudian mulai membangkitkan tingkat perhatian tertentu. (Wahab:2001:35). Jadi, pada intinya isu kebijakan (policy issues) atau yang sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem) lazimnya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan itu sendiri. Isu kebijakan dengan begitu lazimnya merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan rincian, penjelasan, maupun penilaian atas suatu masalah tertentu (Dunn, 1990).
Pada sisi lain, isu bukan hanya mengandung makna adanya masalah atau ancaman, tetapi juga peluang-peluang bagi tindakan positif tertentu dan kecenderungan-kecenderungan yang dipersepsikan sebagai memiliki nilai potensial yang signifikan (Hogwood dan Gunn, 1996). Dengan demikian isu bisa jadi merupakan kebijakan-kebijakan alternatif (alternative policies). atau suatu proses yang dimaksudkan untuk menciptakan kebijakan baru, atau kesadaran suatu kelompok mengenai kebijakan tertentu yang dianggap bermanfaat bagi mereka (Alford dan Friedland, 1990: 104).
Singkatnya, timbulnya isu kebijakan publik terutama karena telah terjadi konflik atau "perbedaan persepsional" di antara para aktor atas suatu situasi problematik yang dihadapi oleh masyarakat pada suatu waktu tertentu. Sebagai sebuah konsep, makna persepsi (perception) tidak lain adalah proses dengan mana seseorang atau sekelompok orang memberikan muatan makna tertentu atas pentingnya sesuatu peristiwa atau stimulus tertentu yang berasal dari luar dirinya. Singkatnya, persepsi adalah "lensa konseptual" (conceptual lense) yang pada diri individu berfungsi sebagai kerangka analisis untuk memahami suatu masalah (Allison, 1971).
Karena dipengaruhi oleh daya persepsi perumusan atas suatu isu, sesungguhnya amat bersifat subjektif. maka besar kemungkinan masing-masing orang kelompok, atau pihak-pihak tertentu dalam sistem politik yang berkepentingan atas sesuatu isu akan berbeda-beda dalam cara memahami dan bagaimana merumuskannya. Dilihat dari peringkatnya, maka isu kebijakan publik itu, secara berurutan dapat dibagi menjadi empat kategori besar, yaitu isu utama, isu sekunder, isu fungsional, dan isu minor (Dunn, 1990).
Kategorisasi ini menjelaskan bahwa makna penting yang melekat pada suatu isu akan ditentukan oleh peringkat yang dimilikinya.
2. Pentingnya Mencermati Isu Kebijakan
Ada dua alasan yang dapat dikemukakan mengenai hal ini :
a. Proses pembuatan kebijakan publik di sistem politik mana pun lazimnya berangkat dari adanya tingkat kesadaran tertentu atas suatu masalah atau isu tertentu.
b. Derajat keterbukaan, yakni tingkat relatif demokratis atau tidaknya suatu sistem politik, di antaranya dapat diukur dari cara bagaimana mekanisme mengalirnya isu menjadi agenda kebijakan pemerintah, dan pada akhirnya menjadi kebijakan public (Wahab:2001:38).
Maka perilaku kebijakan (policy behavior) akan mencakup pula kegagalan bertindak yang tidak disengaja, dan keputusan yang disengaja untuk tidak berbuat sesuatu apa pun, semisal tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan (baik secara sadar atau tidak), untuk menciptakan rintangan-rintangan (constraints) tertentu agar publik atau masyarakat tidak dapat menyikapi secara kritis terhadap kebijakan pemerintah (Bachrach dan Baratz, 1962; Heclo, 1972).
Agar suatu kebijakan dapat disebut sebagai kebijakan publik, maka pada derajat tertentu ia haruslah diciptakan, dipikirkan atau setidaknya, diproses melalui prosedur-prosedur tertentu dan di bawah pengaruh atau control pemerintah (Hogwood dan Gunn,1986). Dalam kondisi yang normal, memang secara implisit disyaratkan bahwa agar sebuah isu dapat menjadi kebijakan public praktis harus mampu "menembus" berbagai pintu akses kekuasaan berupa saluran-saluran tertentu (birokrasi dan politik) baik yang formal maupun yang informal, yang sekiranya relatif tersedia pada sistem politik.
Adanya persyaratan seperti itulah yang menyebabkan isu kebijakan tidak jarang menjadi semacam "arena" atau ajang pertarungan kepentingan politik, baik terselubung atau terang-terangan.
3. Kriteria Isu Dapat Menjadi agenda kebijakan
Dalam sejumlah literatur (Lihat: Kimber, 1974; Salesbury, 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986) memang disebutkan bahwa secara teoritis, suatu isu akan cenderung memperoleh respon dari pembuat kebijakan, untuk dijadikan agenda kebijakan publik, kalau memenuhi beberapa kriteria tertentu.
Diantara sejumlah kriteria itu yang penting ialah:
- Isu tersebut telah mencapai suatu titik kritis tertentu, sehingga ia praktis tidak lagi bisa diabaikan begitu saja; atau ia telah dipersepsikan sebagai suatu ancaman serius yang jika tak segera diatasi justru akan menimbulkan luapan krisis baru yang jauh lebih hebat di masa datang.
- Isu tersebut telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak (impact) yang bersifat dramatik.
- Isu tersebut menyangkut emosi tertentu dilihat dan sudut kepentingan orang banyak bahkan umat manusia pada umumnya, dan mendapat dukungan berupa liputan media massa yang luas.
- Isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas.
- Isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi) dalam masyarakat.
- Isu tersebut menyangkut suatu persediaan yang fasionable, di mana posisinya sulit untuk dijelaskan tapi mudah dirasakan kehadirannya.
4. Pengaruh Distribusi Kekuasaan Terhadap Isu Kebijakan
Dalam praktek sebenarnya tidak ada jaminan bahwa suatu isu secara otomatis akan dapat menembus secara mulus pintu akses kekuasaan dan menjadikannya sebagai agenda kebijakan publik. Untuk keperluan itu kita dapat menggunakan pendekatan sosiologi kebijakan dengan cara mencermati bagaimana peran dan pengaruh riil dari apa yang disebut sebagai agenda setters. Dalam teori sering disebutkan pada umumnya yang secara potensial tergolong sebagai agenda setters ini adalah organisasi kelompok-kelompok kepentingan, kelompok-kelompok pemprotes, tokoh-tokoh partai politik, para pejabat senior pemerintah (sipil atau militer) atau tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam masyarakat, para pembentuk opini, seperti editor surat kabar, dan sebagainya.
Proses masuknya isu menjadi agenda kebijakan publik pemerintah pada hakikatnya merupakan suatu proses yang "berdosis politik" sangat tinggi. Artinya proses ini sangat dipengaruhi secara kental oleh bagaimana perwujudan dari distribusi kekuasaan riil (the real distribution of power) yang berlangsung di suatu negara, organisasi, atau masyarakat secara keseluruhan (Wahab:2001:41).
Derajat polarisasi dan tingkat persaingan politik yang berlangsung di kalangan para aktor penting pada suatu sistem politik pada kurun waktu tertentu, praktis dapat pula dilihat dari sudut siapa yang mampu menggulirkan isu (seraya menepiskan isu yang lain), memasukkan isu yang digulirkan sebagai agenda kebijakan pemerintah, dan mewujudkannya sebagai kebijakan publik yang diimplementasikan serta berdampak nyata pada kehidupan sosial politik massa rakyat.
Contoh isu kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak. Masalah kebijakan dalam kenaikan harga BBM adalah dari segi naiknya harga minyak mentah dunia yang berpengaruh pada perekonomian suatu Negara.
Dengan naiknya harga minyak mentah dunia, pemerintah memiliki permasalahan tentang BBM apakah nantinya pemerintah akan menaikan atau akan tetap pada harga awal. Jika pemerintah menaikan harga BBM masalah dari kebijakan akan luas dampaknya. Terutama dari segi ekonomi mengingat daya beli masyarakat kita yang masih rendah. Sehingga masyarakat miskin akan bertambah. Atau dari segi social, dengan biaya produksi yang tingggi para pengusaha akan menekan biaya produksi, dan biasanya pengusaha dalam upay penekanaan biaya produksi akan mem-PHK karyawan.
B. AGENDA KEBIJAKAN
Sesuatu yang dianggap orang masalah, bisa dianggap bukan masalah oleh orang lain. Bahkan sesuatu yang dianggap sebagai masalah orang lain bisa dianggap sebaliknya, karena menguntungkan. Oleh karena itu, masalah kebijakan (policy problem) tidak sekedar sama dengan masalah secara umum. Agenda setting adalah proses masuknya isu-isu publik kedalam agenda pemerintah untuk ditindaklanjuti melalui kebijakan-kebijakan.
Setelah dilakukan perumusan atau pengidentifikasian ( isue ) masalah-masalah yang ada di masyarakat, langkah selanjutnya adalah menyusun agenda kebijakan. Dalam proses ini akan dilakukan analisis apakah masalah yang ada merupakan masalah publik dan pantas dimasukan ke dalam agenda kebijakan atau tidak. Penyusunan agenda adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik.
Dalam proses inilah ada ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan agenda publik perlu diperhitungkan.
Masalah-masalah yang masuk dalam agenda kebijakan, tentunya adalah masalah-masalah yang memiliki syarat-syarat tertentu sehingga dikatakan masalah publik, yang perlu dibuat kebijakan. Jika sebuah isu telah menjadi masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.
Dalam penyusunan agenda juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Isu kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut.
Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan.
Sebagaimana yang telah disampaikan Hogwood dan Gunn, 1986 ada beberapa kriteria suatu isu akan cenderung memperoleh respon dari pembuat kebijakan, untuk dijadikan agenda kebijakan publik, diantaranya:
1) telah mencapai titik kritis tertentu jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius
2) telah mencapai tingkat partikularitas tertentu berdampak dramatis
3) menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak (umat manusia) dan mendapat dukungan media massa
4) menjangkau dampak yang amat luas
5) mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat
6) menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya).
Namun demikian, ada factor lain yang mempengaruhi suatu isu dijadikan kebijakan, yaitu :
a) Terdapat ancaman keseimbangan antar kelompok
b) Kepentingan pemimpin politik
c) Krisis atau peristiwa luar biasa
d) Gerakan protes.
Selain itu Anderson (1966, 57-59) menyebutkan beberapa faktor yang dapat menyebabkan problem-problem umum dapat masuk ke dalam agenda, yakni :
1. Apabila terdapat ancaman terhadap keseimbangan antar kelompok (group equlibirium), dimana kelompok-kelompok tersebut mengadakan reaksi dan menuntut tindakan pemerintah untuk mengambil prakarsa guna mengatasi ketidakseimbangan tersebut.
2. Kepemimpinan politik dapat pula menjadi suatu faktor yang penting dalam penyusunan agenda pemerintah, manakala para pemimpin politik didorong atas pertimbangan keuntungan politik atau keterlibatannya untuk memperhatikan kepentingan umum, sehingga mereka selalu memperhatikan problem publik, menyebarluaskan dan mengusulkan usaha pemecahannya.
3. Timbulnya krisis atau peristiwa yang luar biasa dan mendapatkan perhatian besar dari masyarakat, sehingga memaksa para pembuat keputusan untuk memperhatikan secara seksama terhadap peristiwa atau krisis tersebut, dengan memasukkan ke dalam agenda pemerintah.
4. Adanya gerakan-gerakan protes termasuk tindakan kekerasan, sehingga menarik perhatian para pembuat keputusan untuk memasukkannya ke dalam agenda pemerintah.
5. Masalah-masalah khusus atau isyu-isyu politis yang timbul dalam masyarakat, sehingga menarik perhatian media massa dan menjadikannya sebagai sorotan.
Hal ini dapat menyebabkan masalah atau isyu tersebut semakin menonjol sehingga lebih banyak lagi perhatian masyarakat dan para pembuat kebijakan tertuju pada masalah atau isu tersebut.
Sedangkan Jones (1977, 32) mengajukan suatu pedoman untuk meneliti atau mempelajari tentang syarat-syarat suatu problem publik dapat masuk ke dalam agenda pemerintah, yakni :
a) Dilihat dari peristiwanya, yang meliputi ruang lingkup, persepsi masyarakat, definisi dan intensitas orang-orang yang dipengaruhi oleh peristiwa tersebut.
b) Organisasi kelompok, yang meliputi luasnya anggota kelompok, struktur kelompok dan mekanisme kepemimpinan.
c) Cara mencapai kekuasaan, yang terdiri atas perwakilan, empati dan dukungan.
d) Proses kebijaksanaan, yang meliputi struktur, kepekaan dan kepemimpinan.
Selanjutnya, setelah problem publik tersebut dimasukkan ke dalam agenda pemerintah, maka para pembuat keputusan memprosesnya kedalam fase-fase, yang oleh Jones (ibid) dibagi kedalam 4 (empat) tahap, yakni :
1) problem definition agenda yaitu hal-hal (problem) yang memperoleh penelitian dan perumusan secara aktif dan serius dari para pembuat keputusan
2) proposal agenda, yaitu hal-hal (problem) yang telah mencapai tingkat diusulkan, dimana telah terjadi perubahan fase merumuskan masalah kedalam fase memecahkan masalah ;
3) bargaining agenda, yaitu usulan-usulan kebijakan tadi ditawarkan untuk memperoleh dukungan secara aktif dan serius ;
4) continuing agenda, yaitu hal-hal (problem) yang didiskusikan dan dinilia secara terus menerus.
Misalnya apakah pemerintah kota lebih dulu membuat kebijakan tentang keindahan kota atau pengangguran kota?
C. FORMULASI KEBIJAKAN
Formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan publik merupakan tahap yang paling krusial karena implementasi dan evaluasi kebijakan hanya dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan telah selesai, disamping itu kegagalan suatu kebijakan atau program dalam mencapai tujuan-tujuannya sebagian besar bersumber pada ketidaksempurnaan pengolahan tahap formulasi (Wibawa; 1994, 2). Tjokroamidjojo (Islamy; 1991, 24) mengatakan bahwa policy formulation sama dengan pembentukan kebijakan merupakan serangkaian tindakan pemilihan berbagai alternatif yang dilakukan secara terus menerus dan tidak pernah selesai, dalam hal ini didalamnya termasuk pembuatan keputusan.
Formulasi kebijakan sebagai suatu proses menurut Winarno (1989, 53), dapat dipandang dalam 2 (dua) macam kegiatan. Kegiatan pertama adalah memutuskan secara umum apa yang harus dilakukan atau dengan kata lain perumusan diarahkan untuk memperoleh kesepakatan tentang suatu alternatif kebijakan yang dipilih, suatu keputusan yang menyetujui adalah hasil dari proses seluruhnya.
Sedangkan kegiatan selanjutnya diarahkan pada bagaimana keputusan-keputusan kebijakan dibuat, dalam hal ini suatu keputusan kebijakan mencakup tindakan oleh seseorang pejabat atau lembaga resmi untuk menyetujui, mengubah atau menolak suatu alternatif kebijakan yang dipilih. Sejalan dengan pendapat Winarno, maka Islamy (1991, 77) membagi proses formulasi kebijakan kedalam tahap perumusan masalah kebijakan, penyusunan agenda pemerintah, perumusan usulan kebijakan, pengesahan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian kebijakan.
Sebagai suatu proses, maka tahap formulasi kebijakan terdiri atas beberapa komponen (unsur) yang saling berhubungan secara respirokal sehingga membentuk pola sistemik berupa input – proses – output – feedback.
Menurut Wibawa (1994, 13), komponen (unsur) yang terdapat dalam proses formulasi kebijakan adalah :
a. Tindakan
Tindakan kebijakan adalah tindakan disengaja yang selalu dilakukan secara terorganisasi dan berulang (ajeg) guna membentuk pola-pola tindakan tertentu, sehingga pada akhirnya akan menciptakan norma-norma bertindak bagi sistem kebijakan. Jika pada tahap awal tumbuhnya sistem kebijakan dan tujuan dari sistem itu ditetapkan terlebih dahulu untuk menentukan tindakan apa yang akan dilakukan guna mencapai tujuan tersebut, maka pada giliran berikutnya, ketika sistem telah berjalan, norma yang terbentuk oleh pola tindakan tadi akan mengubah atau setidaknya mempengaruhi tujuan sistem.
b. Aktor
Orang atau pelaku yang terlibat dalam proses formulasi kebijakan akan memberikan dukungan maupun tuntutan serta menjadi sasaran dari kebijakan yang dihasilkan oleh sistem kebijakan. Aktor yang paling dominan dalam tahap perumusan kebijakan dengan tuntutan yang bersifat intern, dalam artian mempunyai kekuasaan atau wewenang untuk menentukan isi dan memberikan legitimasi terhadap rumusan kebijakan tersebut, disebut pembuat kebijakan (policy maker). Sementara itu, aktor yang mempunyai kualifikasi atau karakteristik lain dengan tuntutan ekstern, dikenal sebagai kelompok-kelompok kepentingan, partai politik, pimpinan elit profesi dan lain-lain.
Untuk dapat tetap bertahan bermain di dalam sistem tersebut, mereka harus memilik komitmen terhadap aturan main, yang pada mulanya dirumuskan secara bersama-sama oleh semua aktor. Pada tataran ini komitmen para aktor akan menjadikan menjadikan mereka mematuhi aturan atau norma bersama. Selain itu, kepatuhan terhadap norma ini bahkan menjadi keharusan, karena diasumsikan bahwa pencapaian tujuan sistem akan terwujud jika semua aktor mematuhi norma bersama.
c. Orientasi nilai
Proses formulasi kebijakan pada prinsipnya berhubungan dengan proses mengidentifikasi dan menganalisis nilai-nilai yang beraneka ragam kemudian menentukan nilai-nilai yang relevan dengan kepentingan masyarakat, sehingga setiap kebijakan yang dihasilkan akan mempunyai implikasi nilai, baik secara implisit maupun eksplisit.
Oleh karena itu, aktor-aktor yang berperan dalam formulasi kebijakan tidak hanya berfungsi menciptakan adanya keseimbangan diantara kepentingan-kepentingan yang berbeda (muddling through or balancing interests), tetapi juga harus berfungsi sebagai penilai (valuer), yakni mampu menciptakan adanya nilai yang dapat disepakati bersama yang didasarkan pada penilaian-penilaian rasional (rational judgements) guna pencapaian hasil yang maksimal.
Tahap formulasi kebijakan sebagai suatu proses yang dilakukan secara ajeg dengan melibatkan para stakeholders (aktor) guna menghasilkan serangkaian tindakan dalam memecahkan problem publik melalui identifikasi dan analisis alternatif, tidak terlepas dari nilai-nilai yang mempengaruhi tindakan para aktor dalam proses tersebut.
Anderson (1966), Winarno (1989, 16) dan Wibawa (1994, 21) mengemukakan bahwa nilai-nilai (ukuran) yang mempengaruhi tindakan dari para pembuat keputusan dalam proses formulasi kebijakan dapat dibagi kedalam beberapa kategori, yakni :
1. Nilai-nilai politik, dimana keputusan dibuat atas dasar kepentingan politik dari partai politik atau kelompok kepentingan tertentu. Seperti umumnya pada paradigma kritis dalam kebijakan publik, maka dalam fase formulasi kebijakan publik, realitas politik yang melingkupi proses pembuatan kebijakan publik itu tidak boleh dilepaskan dalam fokus kajiannya, sebab apabila kita melepaskan kenyataan politik itu dari proses pembuatan kebijakan publik, maka kebijakan yang dihasilkan akan miskin aspek lapangannya sementara kebijakan publik itu sendiri tidak pernah steril dari aspek politik. Dalam konteks ini, maka proses formulasi kebijakan dipahami sebagai sebuah proses pengambilan keputusan yang sangat ditentukan oleh factor kekuasaan, dimana sumber-sumber kekuasaan itu berasal dari strata social, birokrasi, akademis, profesionalisme, kekuatan modal dan lain sebagainya.
2. Nilai-nilai organisasi, dalam hal ini keputusan-keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai yang dianut organisasi, seperti balas jasa (rewards) dan sanksi (sanction) yang dapat mempengaruhi anggota organisasi untuk menerima dan melaksanakannya. Pada tataran ini, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para stakeholders lebih dipengaruhi serta dimotivasi oleh kepentingan dan perilaku kelompok, sehingga pada gilirannya, produk-produk kebijakan yang dihasilkan lebih mengakomodasi kepentingan organisasi mereka ketimbang kepentingan publik secara keseluruhan. Oleh karena itu, diperlukan adanya sebuah perangkat sistemik yang mampu mengeliminir kecenderungan tersebut.
3. Nilai-nilai pribadi, dimana seringkali keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai pribadi yang dianut oleh pribadi pembuat keputusan untuk mempertahankan status quo, reputasi, kekayaan dan sebagainya. Proses formulasi kebijakan dalam konteks ini lebih dipahami sebagai suatu proses yang terfokus pada aspek emosi manusia, personalitas, motivasi dan hubungan interpersonal. Fokus dari pandangan ini adalah siapa mendapatkan nilai apa, kapan ia mendapatkan nilai tersebut dan bagaimana ia mengaktualisasikan nilai yang telah dianutnya.
4. Nilai-nilai kebijakan, dalam hal ini keputusan dibuat atas dasar persepsi pembuat kebijakan tentang kepentingan publik atau pembuatan kebijakan yang secara moral dan dapat dipertanggungjawabkan. Termasuk dalam kategori ini adalah nilai moral, keadilan, kemerdekaan, kebebasan, kebersamaan dan lain-lain. Pandangan iniu melihat bagaimana pembuat kebijakan sebagai personal mampu merespon stimulasi dari lingkungannya. Artinya, di sini, akan banyak terlihaty tentang bagaimana seorang pembuat kebijakan mengenali masalah, bagaimana mereka menggunakan informasi yang mereka miliki, bagaimana mereka menentrukan pilihan dari berbagai alternatif yang ada, bagaimana mereka mempersepsi realitas yang ditemui, bagaimana informasi diproses dan bagaimana informasi dikomunikasikan dalam organisasi.
5. Nilai-nilai ideologi, dimana nilai ideologi seperti misalnya nasionalisme dapat menjadi landasan pembuatan kebijakan, baik kebijakan dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu, ideologi juga masih merupakan sarana untuk merasionalisasikan dan melegitimasikan tindakan-tindakan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.
Menurut Nigro and Nigro (Islamy; 1991, 25), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses formulasi kebijakan adalah :
a) Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar. Walaupun ada pendekatan formulasi kebijakan dengan nama “rationale comprehensive” yang berarti administrator sebagai pembuat keputusan harus mempertimbangkan alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian rasional semata, tetapi proses dan formulasi kebijakan itu tidak dapat dipisahkan dari dunia nyata, sehingga adanya tekanan dari luar ikut berpengaruh terhadap proses formulasi kebijakan.
b) Adanya pengaruh kebiasaan lama
Kebiasaan lama organisasi seperti kebiasaan investasi modal, sumber-sumber dan waktu terhadap kegiatan suatu program tertentu cenderung akan selalu diikuti, meskipun keputusan-keputusan tersebut telah dikritik sebagai sesuatu yang salah sehingga perlu dirubah, apalagi jika suatu kebijakan yang telah ada dipandang memuaskan.
c) Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi
Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya, seperti dalam proses penerimaan atau pengangkatan pegawai baru, seringkali faktor sifat-sifat pribadi pembuat keputusan berperan besar sekali.
d) Adanya pengaruh dari kelompok luar
Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan juga sangat berpengaruh, bahkan sering pula pembuatan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan pengalaman dari orang lain yang sebelumnya berada diluar proses formulasi kebijakan.
e) Adanya pengaruh keadaan masa lalu
Pengalaman latihan dan pengalaman pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada pembuatan keputusan atau bahkan orang-orang yang bekerja di kantor pusat sering membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keadaan dilapangan, hal ini disebabkan karena adanya kekhawatiran bahwa delegasi wewenang dan tanggung jawab kepada orang lain akan disalahgunakan.
Contoh dalam hal ini formulasi kebijakan publik adalah penggodokan tentang penaikan harga BBM atau tidak. Dalam proses ini terjadi di dalam pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan legeslatif sebagai badan pengontrol pemerintah.
D. LEGITIMASI KEBIJAKAN
Legitimasi berasal dari kata legitimacy yang berarti memberi kuasa atau kewenangan (otorisasi) pada dasar bekerjanya sistem politik, termasuk proses penyusunan perencanaan, usul untuk memecahkan problema-problema yang timbul di masyarakat. Menurut Silalahi dalam Ali Imron (Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, 2002:53).
Legitimasi juga berasal dari kata legitimation yang berarti suatu proses spesifik dimana program-program pemerintah diotorisasikan atau diabsahkan.
Legitimasi mengandung dua makna, yang pertama menyangkut pemberian kewenangan untuk memberikan usulan atas suatu kegiatan (legitimacy) dan yang kedua menyangkut pemberian kewenangan untuk melaksanakan program-program yang diusulkan (legitimation). Oleh karena legitimacy memberikan kewenangan untuk usul, dan legitimation memberikan kewenangan untuk melaksanakan, maka legitimacy dilakukan terlebih dahulu dan baru kemudian legitimation.
Legitimasi adalah prinsip yang menunjukkan penerimaan keputusan pemimpin pemerintah dan pejabat oleh (sebagian besar) publik atas dasar bahwa perolehan para pemimpin 'dan pelaksanaan kekuasaan telah sesuai dengan prosedur yang berlaku pada masyarakat umum dan nilai-nilai politik atau moral. Sependapat dengan Gray bahwa legitimasi merupakan sistem pengelolaan yang berorientasi pada keberpihakan masyarakat (society), pemerintah individu dan kelompok masyarakat.
Dengan adanya legitimasi yang dimiliki oleh seorang pemimpin dapat menimbulkan kestabilan politik dan memungkinkan terjadinya perubahan sosial dan membuka kesempatan yang semakin besar bagi pemerintah untuk tidak hanya memperluas bidang-bidang kesejahteraan yang hendak ditangani, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan.
Legitimasi juga merupakan suatu tindakan perbuatan hukum yang berlaku, atau peraturan yang ada, baik peraturan hukum formal, etnis, adat-istiadat, maupun hukum kemasyarakatan yang sudah lama tercipta secara sah.
Jadi, dalam legitimasi kekuasaan, bila seorang pemimpin menduduki jabatan dan memiliki kekuasaan secara legitimasi (legitimate power) adalah bila yang bersangkutan dianggap absah memangku jabatannya dan menjalankan kekuasaannya.
Wujud dari kebijakan pendidikan ini biasanya berupa undang-undang, intruksi, peraturan pemerintah, keputusan pengadilan, peraturan menteri, dan sebagainya menyangkut publik. Pelaksanaan kebijaksanaan itu bertujuan menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah.
Setelah kebijakan berhasil diformulasikan, sebelum diterapkan pada masyarakat, kebijakan tersebut haruslah memperoleh legitimasi (pengesahan) atau kekuatan hukum yang mengatur penerapan (implementasi) kebijakan pada masyarakat.
Legitimasi dilakukan diantara kegiatan perumusan dan pelaksanaan kebijaksanaan. Hal tersebut dikarenakan hasil rumusan-rumusan kebijaksanaan tersebut perlu mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Dan, pengakuan tersebut dilakukan oleh masyarakat lazimnya melalui lembaga-lembaga perwakilan masyarakat. Pengakuan dari masyarakat sangat penting mengingat suatu pelaksanaan kebijaksanaan pastilah melibatkan masyarakat dari berbagai kalangan.
Semakin banyak masyarakat yang berpartisipasi secara aktif dalam pelaksanaannya, maka kebijaksanaan tersebut dinilai semakin sukses.
Manfaat dari legitimasi antara lain:
1) Menciptakan stabilitas politik dan perubahan sosial.
2) Mengatasi masalah lebih cepat.
3) Mengurangi penggunaan saran kekerasan fisik.
4) Memperluas bidang kesejahteraan atau meningkatkan kualitas kesejahteraan.
Pada umumnya wewenang melakukan legitimasi dimiliki oleh pemerintah atau badan legislatif. Namun kalau dikaji lebih mendalam, bahwa proses legitimasi tersebut tidak dapat dipisahkan dari hubungan antara negara dan rakyat sebagai sumber legitimasi yang paling utama, sebab ukuran legitimasi yang dimiliki oleh pemerintah sangat tergantung pada tersedianya dukungan bagi pemerintah dan apa yang ingin diperoleh dari masyarakat.
Adapun cara-cara yang digunakan untuk mendapatkan dan mempertahankan legitimasi dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
1) Simbolis yaitu dengan cara menumbuhkan kepercayaan terhadap masyarakat dalam bentuk simbol-simbol seperti kepribadian yang baik, menjunjung tinggi nilai- budaya dan tradisi.
2) Prosedural yaitu menjanjikan kesejahteraan materiil kepada rakyat, seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan lebih baik, kesempatan kerja lebih besar, menjamin tersedianya pangan yang dibutuhkan rakyat, menjanjikan sarana produksi pertanian, sarana komunikasi dan transportasi, serta modal yang memadai.
3) Materiil yaitu dengan cara mengadakan pemilihan umum untuk menentukan para wakil rakyat, perdana menteri, presiden, dan sebagainya.
Para anggota lembaga tinggi negara atau referendum untuk mengesahkan suatu kebijakan umum.
Menurut Andrain berdasarkan prinsip pengakuan dan dukungan masyarakat terhadap pemerintah maka legitimasi dikelompokkan menjadi lima tipe yaitu:
1. Legitimasi tradisional: masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut merupakan keturunan pemimpin ”berdarah biru” yang dipercaya harus memimpin masyarakat.
2. Legitimasi ideologi: masyarakat memberikan dukungan kepada pemimpin pemerintahan karena pemimpin tersebut dianggap sebagai penafsir dan pelaksana ideologi. Ideologi yang dimaksudkan tidak hanya yang doktriner seperti komunisme, tetapi juga yang pragmatis seperti liberalisme dan ideologi pancasila.
3. Legitimasi kualitas pribadi: masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemerintah karena pemimpin tersebut memiliki kualitas pribadi berupa kharismatik maupun penampilan pribadi dan prestasi cemerlang dalam bidang tertentu.
4. Legitimasi prosedural: masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemerintah karena pemimpin tersebut mendapat kewenangan menurut prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
5. Legitimasi instrumental: masyarakat memberikan pengakuan dan dukungan kepada pemerintah karena pemimpin tersebut menjanjikan atau menjamin kesejahteraan materiil (instrumental) kepada masyarakat.
Suatu legitimasi dapat pula mengalami krisis bila seseorang atau lembaga yang memiliki legitimasi itu tidak memiliki kecakapan (skill) yang cukup untuk melakukan pengelolaan (manajemen) Negara secara keseluruhan.
Dalam hal ini legitimasi perlu diikuti oleh kapabilitas dan kapasitas untuk menimplementasikan program yang langsung menyentuh rakyat, rakyat sebagai pemegang legitimasi tertinggi, keamanan dan kesejahteraan rakyat adalah ukuran utama dalam menilai kemampuan legitimasi kapabilitas pemerintahan. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa kekuasaan yang legitimated tidak selalu berbanding lurus dengan kecakapannya.
Lucyan Pye menyebutkan empat sebab krisis legitimasi:
Prinsip kewenangan beralih pada prinsip kewenangan yang lain.
Persaingan yang sangat tajam dan tak sehat tetapi juga tak disalurkan melalui prosedur yang seharusnya diantara para pemimpin pemerintahan sehingga terjadi perpecahan dalam tubuh pemerintah.
Pemerintah tak mampu memenuhi janjinya sehingga menimbulkan kekecewaan dan keresahan di kalangan masyarakat.
Sosialisasi tentang kewengan mengalami perubahan.
Krisis legitimasi akan semakin gawat manakala pihak yang berwenang tidak tanggap atas perubahan sikap terhadap kewenangan dalam masyarakat.
E. SOSIALISASI/KOMUNIKASI KEBIJAKAN
Konsep komunikasi pada implementasi kebijakan pada umumnya menganalisa apakah pesan yang dikirimkan komunikator kebijakan dapat diterima dan dipahami dengan baik oleh komunikan kebijakan. Jika pesan yang dikirimkan dapat diterima secara lengkap, maka komunikasi disebut efektif. Ada perkembangan komunikasi kebijakan saat ini menyatakan bahwa komunikasi disebut efektif manakala pesan dari tujuan kebijakan yang disampaikan komunikator bukan saja bisa diterima dengan jelas, melainkan juga mempengaruhi dan dilaksanakan oleh komunikan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Edward III bahwa keputusan kebijakan dan perintahnya harus diteruskan kepada orang yang tepat dan dikomunikasikan dengan jelas dan akurat agar dapat dimengerti dengan cepat oleh pelaksana. Lebih jauh Edward III mengungkapkan bahwa beberapa hal yang mendorong terjadinya komunikasi yang tidak konsisten dan menimbulkan dampak-dampak buruk bagi implementasi kebijakan, diantaranya adalah transmisi yang dilakukan, tingkat konsistensi, dan tingkat kejelasan dari komunikasi.
Selanjutnya persyaratan utama bagi komunikasi pada kebijakan yang efektif adalah para pelaksana kebijakan harus mengetahui apa yang harus mereka kerjakan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah penerapan harus disalurkan kepada orang-orang yang tepat, sehingga komunikasi harus secara akurat diterima oleh para pelaksana. Komunikasi berpengaruh besar terhadap berhasilnya implementasi kebijakan pengadaan barang/jasa secara eletronik, komunikasi yang baik dan efketif akan melancarkan penerapan implementasi kebijakan sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan pada saat kebijakan itu dibuat. Komunikasi diperlukan agar para pembuat kebijakan dan para implementer program tersebut akan semakin konsisten dalam melaksanakan setiap program yang akan diterapkan kepada sasaran dari program tersebut.
Terdapat tiga indikator yang digunakan dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi, yaitu transformasi, kejelasan dan konsistensi kebijakan.
Terjadinya miss communication merupakan bentuk dari tidak dilaksanakanya pesan secara utuh yang dapat diartikan bahwa pesan tersebut mengalamai kegagalan. Jika kegagalan tersebut diasumsikan sebagai ketidakjelasan informasi kebijakan, penting artinya untuk menelaahnya dari sudut pandang Edward III.
Dia mengemukakan lack of clarity (ketidakjelasan) informasi kebijakan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain complexity of policymaking (kompleksitas pembuatan kebijakan publik); public opposition (penolakanmasyarakat); competing goals and the need for consensus (tidak tercapainya kesepakatan mengenai tujuan kebijakan). Faktor lain yang menyebabkan ketidakjelasan informasi adalah adanya public opposition (penolakan masyarakat). Masyarakat dalam konteks ini dibagi dua, yaitu masyarakat yang menjadi obyek kebijakan karena secara langsung terkena dampak pelaksanaan kebijakan dan masyarakat yang tidak secara langsung terkena dampak pelaksanaan kebijakan.
F. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
a. Implementasi Kebijakan
Secara sederhana implementasi bisa diartikan pelaksanaan atau penerapan. Browne dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2004:7) mengemukakan bahwa “implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan”. Implementasi melibatkan usaha dari policy makers untuk memengaruhi apa yang oleh Lipsky disebut “street level bureaucrats” untuk memberikan pelayanan atau mengatur prilaku kelompok sasaran (target group).
Untuk kebijakan yang sederhana, implementasi hanya melibatkan satu badan yang berfungsi sebagai implementor, misalnya, kebijakan komite sekolah untuk mengubah metode pengajaran guru dikelas.
Sebaliknya untuk kebijakan makro, misalnya, kebijakan pengurangan kemiskinan di pedesaan, maka usaha-usaha implementasi akan melibatkan berbagai institusi, seperti birokrasi kabupaten, kecamatan, pemerintah desa.
Pelaksanaan suatu kebijakan, menurut Grindle (1980:8-12) sangat ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks kebijakan. Isi kebijakan mencakup :
1. Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan.
2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan
3. Derajat perubahan yang akan diinginkan.
4. Kedudukan pembuat kebijakan.
5. Siapa pelaksana program.
6. Sumberdaya yang dikerahkan.
Sedang konteks kebijakan mencakup :
1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat.
2. Karakteristik lembaga dan penguasa.
3. Kepatuhan serta daya tangkap pelaksana terhadap kebijakan.
Di sini kebijakan yang menyangkut banyak kepentingan yang berbeda akan lebih sulit diimplementasikan dibanding yang menyangkut sedikit kepentingan.
Oleh karenanya tinggi-rendahnya intensitas keterlibatan berbagai pihak (politisi, pengusaha, masyarakat, kelompok sasaran dan sebagainya) dalam implementasi kebijakan akan berpengaruh terhadap efektivitas implementasi kebijakan.
Proses implementasi sekurang-kurangnya terdapat tiga unsur yang penting dan mutlak, seperti dikemukakan oleh Syukur Abdullah (1987;11), yaitu:
1. Adanya program atau kebijakan yang dilaksanakan.
2. Target groups, yaitu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran, dan diharapkan dapat menerima manfaat dari program tersebut, perubahan atau peningkatan.
3. Unsur pelaksana (implementor), baik organisasi atau perorangan, yang bertanggungjawab dalam pengelolaan, pelaksanaan, dan pengawasan dari proses implementasi tersebut.
Adapun makna Implementasi menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul Sabatier (1979) sebagaimana dikutip dalam buku Solichin Abdul Wahsab (2008; 65 ), mengatakan bahwa ,yaitu “Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian kejadian”.
Dari pandangan kedua ahli diatas dapat dikatakan bahwa suatu proses implementasi kebijaksanaan itu sesungguhnya tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan suatu program yang telah ditetapkan serta menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan pula menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi segala pihak yang terlibat, sekalipun dalam hal ini dampak yang diharapkan ataupun yang tidak diharapkan.
Model proses implementasi kebijakan adalah :
1. Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan
2. Sumber-sumber kebijakan
3. Karakteristik badan-badan pelaksana
4. Kondisi-kondisi ekonomi, sosial, dan politik :
5. Kecendrungan pelaksana (implementors)
6. Kaitan antara komponen-komponen model
7. Masalah kapasitas.
b. Teori-Teori Implementasi Kebijakan
1) Teori Merilee S. Grindle (1980 )
Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle ( 1980 ) dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan dan lingkungan implementasi.variabel isi kebijakan ini mencakup:
1. Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan.
2. Jenis manfaat yang diterima oleh target group.
3. Sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan.
4. Apakah letak sebuah program sudah tepat.
5. Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci, dan
6. Apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.
Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup:
1. Seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan.
2. Karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa.
3. Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.
2) Teori Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn
Menurut meter dan horn, ada enam variable yang memengaruhi kinerja implementasi, yakni:
1) Standar dan sasaran kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir.
2) Sumber daya. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumberdaya manusia(human resources) maupun sumberdaya non-manusia(non-human resourse).
3) Hubungan antar Organisasi. Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan intansi lain.
4) Karakteristik agen pelaksana. Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan memengaruhi implementasi suatu program.
5) Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variable ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan.
6) Disposisi implementor. Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yang penting, yakni: respon implementor terhadap kebijakan, yang akan memengaruhi kemaunnya untuk melaksanakan kebijakan. dan intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.
3) Teori David L. Weimer dan Aidan R. Vining
Dalam pandangan weimer dan vining(1999:396) ada tiga kelompok variabel besar yang dapat memengaruhi keberhasilan implementasi suatu program, yakni: logika kebijakan, lingkungan tempat kebijakan dioperasikan, dan kemampuan implementor kebijakan.
1) Logika dari suatu kebijakan. Ini dimaksudkan agar suatu kebijakan yang ditetapkan masuk akal dan mendapat dukungan teoritis.
2) Lingkungan tempat kebijakan tersebut dioperasikan akan memengaruhi keberhasilan impelmentasi suatu kebijakan. Yang dimaksud lingkungan ini mencakup lingkungan sosial, politik, ekonomi,hankam, dan fisik atau geografis.
3) Kemampuan implementor. Keberhasilan suatu kebijakan dapat dipengaruhi oleh tingkat kompetensi dan keterampilan dari implementor kebijakan.
c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Implementasi
Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak variabel atau faktor, dan masing-masing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain. untuk memperkaya pemahaman kita tentang berbagai variabel yang terlibat didalam implementasi, maka dari itu ada pembatasan dalam penelitian ini maka peneliti memilih pendekatan yang dikemukakan oleh Edwards III. Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni: (1) komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi, dan (4) struktur birokrasi. Keempat variabel tersebut juga saling berhubungan satu sama lain.
DAFTAR RUJUKAN
Adul Wahab, Solichin. 1997. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta. Bumu Aksara.
Anderson, J. 1997, Public Policy-Making, Third edn, Holt, Rinehart and Winston New York
Dun, william. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta.Gadjah Mada University Press.
George C. Edwards III dan Ira Sharkansky, The Policy Predicament: Making and Implementing Public Policy, (San Francisco: W.H. Freeman and Company, 1978).
Imron , Ali. 1995. Kebijakan Pendiikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
James E. Anderson, Public Policy Making, (New York:
Holt, Rinehart and Winston, 1984)
Nugroho, Dian. 2003. Kebijakan Publik : Formulasi, Implementasi dan Evaluasi. Jakarta. PT. Gramedia.
0 comments:
Post a Comment